Mohon tunggu...
261_Yuntia Uciani
261_Yuntia Uciani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UPN Veteran Yogyakarta Jurusan Akuntansi

-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengapa Indonesia masih Bergantung pada Bahan Baku Impor?

12 Desember 2024   15:23 Diperbarui: 12 Desember 2024   15:22 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tercatat sekitar 70-100 persen bahan baku pangan yang dimiliki Indonesia masih diimpor dari luar negeri. Ketergantungan tersebut tentunya dipengaruhi oleh berbagai penyebab, misalnya produksi dalam negeri yang tidak memadai, perubahan pola konsumsi masyarakat, hingga regulasi perdagangan yang mendukung kegiatan impor sebagai solusi yang cepat untuk memenuhi permintaan konsumen. Bahkan, nilai impor pangan pada akhir 2023 meningkat hingga US$3,68 miliar atau setara dengan Rp215,77 triliun. Jumlah tersebut naik sebesar 5,3 persen daripada nilai tahun 2022 yang berada di angka US$13,11 miliar.

Fakta pun memperlihatkan bahwa saat ini Indonesia masih menjadi importir pangan. Jika kembali ke masa silam, pemerintah berhasil menangani krisis pangan pada tahun 2003 yang terjadi di tahun 1998 dengan cara mendorong produksi pangan domestik dengan beragam regulasi yang komprehensif. Saat itu, impor beras bahkan mencapai hingga 5,8 juta ton. Pada tahun 1999, Indonesia bahkan menjadi importir beras terbesar di dunia.

Hal ini dapat terjadi dikarenakan keseimbangan pangan dan harga belum terwujud dengan baik di Indonesia. Jumlah produk pertanian yang diproduksi di Indonesia juga belum cukup untuk memenuhi konsumsi makanan yang sepat sehingga mendukung impor secara berkelanjutan dari banyak negara.

Ketergantungan ini terjadi karena berbagai faktor, di antaranya yaitu sistem logistik pangan yang belum maksimal, masih minimnya nilai tukar petani, hingga menurunnya luas lahan pertanian dan daya dukung alam. Regulasi ketahanan pangan juga belum baik hingga diversifikasi pangan yang semakin buruk. Indonesia pun harus terpaksa menjadi importir bahan pangan agar dapat mengatasi kesenjangan antara produksi dan konsumsi. Impor bahan pangan pun dibutuhkan agar tak terjadi kelangkaan yang dapat memicu kenaikan harga drastis.

Tak hanya bahan pangan, Indonesia juga kerap melakukan kegiatan impor di berbagai sektor lainnya. Sebagai contoh, sektor manufaktur seperti tekstil, elektronik, dan otomotif sangat bergantung pada bahan baku impor untuk menjaga produktivitas dan daya saing. Ironisnya, banyak bahan mentah yang sebenarnya tersedia di Indonesia, namun harus dikirim ke luar negeri untuk diolah sebelum kembali ke pasar domestik dalam bentuk produk jadi atau setengah jadi. Hal ini menunjukkan adanya celah dalam rantai pasok industri nasional, terutama di sektor hulu yang kurang berkembang.

Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan strategi jangka pendek dan panjang yang terintegrasi. Jangka pendeknya, pemerintah bisa memberikan insentif fiskal seperti keringanan pajak atau subsidi bagi perusahaan yang mau berinvestasi dalam pengembangan bahan baku lokal. Sementara itu, penguatan riset dan inovasi teknologi pengolahan bahan mentah juga harus menjadi prioritas. Di sisi lain, regulasi harus disederhanakan untuk mendorong kemitraan antara industri besar, UKM, dan petani atau penambang lokal agar rantai pasok lebih efisien.

Jangka panjangnya, pemerintah perlu menciptakan ekosistem industri berbasis sumber daya lokal melalui pembangunan kawasan industri hulu di daerah-daerah strategis. Kawasan ini dapat menjadi pusat pengolahan bahan mentah dengan infrastruktur modern yang terintegrasi. Edukasi dan pelatihan tenaga kerja juga harus dilakukan agar SDM Indonesia memiliki keahlian yang memadai untuk mendukung industrialisasi mandiri. Dengan pendekatan menyeluruh ini, Indonesia memiliki peluang besar untuk memutus rantai ketergantungan impor dan menciptakan kemandirian industri yang lebih kokoh.

Mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor tidak hanya menjadi langkah untuk memperkuat industri nasional, tetapi juga upaya untuk menjaga kedaulatan ekonomi. Dengan memanfaatkan potensi dalam negeri secara maksimal, Indonesia tidak hanya dapat menjadi negara mandiri secara industri tetapi juga mampu bersaing di pasar global. Paradoks ini harus segera diatasi agar Indonesia dapat benar-benar memanfaatkan kekayaan alamnya untuk mendorong kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun