[caption id="attachment_309091" align="aligncenter" width="614" caption="Sumber foto: lamalerakoteklema.blogspot.com"][/caption] “Pa Guru, kalau mau cari istri orang sini mudah saja, di Sumatera pasti banyak gajah ko?” Saya bisa tertawa geli sendiri jika ingat-ingat candaan dari seorang teman tadi. Tapi yang dikatakanntya itu memang fakta, bukan candaan. Aturan ini berlaku dalam adat etnis Lamaholot, bila anda ingin menikahi seorang gadis dari suku Lamaholot, mahar atau mas kawinnya berupa gading gajah.
Etnis Lamaholot dikenal sebagai etnis yang sangat kental akan adat dan budayanya. Etnis ini mendiami Flores Timur daratan, Pulau Adonara, Pulau Solor, Pulau Lembata dan Pulau Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Etnis ini sangat menjunjung tinggi kearifan lokal, jangan heran masih banyak prosesi atau ritual adat yang masih dilakukan hingga kini, termasuk persoalan pernikahan.
Saya pernah berkesempatan menginjakkan kaki di tanah Lembata, salah satu daerah yang banyak didiami penduduk etnis Lamaholot. Tepatnya tahun lalu, saya menjadi salah seorang pendidik di daerah pedalaman Lembata. Selama satu tahun di sana saya terkesima denganbegitu taatnya penduduk terhadap adat yang berlaku. Hal yang mungkin langka terjadi di kawasan Indonesia lainnya.
Di sana hukum adat menjadi panglima. Banyak orang tidak berani mencuri karenatakut dengan sanksi adat. Saya sendiri tenang-tenang saja memarkirkan kendaraan pribadi di luar rumah karena aman dari pencuri. Bila terjadi kasus asusila ataupun kriminal, biasanya Polisi berkonsultasi dengan pemangku adat sebelum mengambil tindakan.
Hubungan antar umat beragama juga sangat harmonis. Tak pernah terdengar gesekan, bayangkan dalam satu rumah adat terdiri dari pemeluk agama Katolik dan Islam. Dalam satu keluarga juga ada yang beragama Islam dan ada yang Katolik. Hebatnya lagi, saat pesta jamuan makan di rumah orang Katolik, dapur dan tempat makan antara Katolik dan orang Islam dipisahkan untuk menjaga kehalalan makanan.
Kembali ke persoalan gading. Mahar atau yang biasa orang Lamaholot biasa sebutbelis, menjadi simbol strata sosial. Keluarga calon mempelai wanita berhak menuntut gading berkualitas kepada keluarga calon mempelai pria. Semakin tinggi derajat keluarga pihak wanita semakin mahal pula belis yang diminta. Panjang, kondisi, jumlah belis ditentukan lewat “rapat” kedua keluargadan belis yang di bawa tak boleh kurang dari tuntutan keluarga mempelai wanita.
Utang piutang belis diperbolehkan dalam suku ini. Maksudnya jika saat pernikahan belis belum tersedia, pernikahan tetap bisa dilangsungkan tapi dengan catatan belis tadi menjadi utang antara pihak lelaki kepada pihak wanita. Pihak lelaki tetap berkewajiban membayar belis, bila tak mampu membayarnya utang piutang gading berlangsung turun temurun. Jika ayah belum melunasi belis, utang akan dibebankan kepada anak, cucu, cicit dan seterusnya.
Di Aceh -- tanah kelahiran saya –, proses pernikahan relatif mudah.Dalam adat Aceh juga mengenal mahar. Mahar dalam adat Aceh berupa emas murni yang merupakan simbol kehormatan dan gengsi keluarga. Nilai maharnya bervariasi anatara 5-20 mayam emas, tergantung kedudukan sosial pihak perempuan dan laki-laki. Mahar berupa emas tergolong mudah, cukup sediakan uang untuk membeli emas yang tersedia di toko-toko emas. Beres!
Menikah dengan gadis Jawa malah lebih gampang. Punya pasangan, dapat restu orang tua, langsung menentukan tanggal pernikahan, lalu tinggal menunggu akad (atau pemberkatan di gereja bagi yang Nasrani) maka sah menjadi suami istri. Tak ada “tetek bengek” penentuan mahar yang berlarut-larut, paling-paling dengan uang tunai atau seperangkat alat Shalat.
Untuk urusan kawin-mawin dalam etnis Lamaholot ini memang terdengar aneh, rumit, unik. Bayangkan menikah saja harus punya gading. Padahal di daerah mereka tinggal tak pernah kita temui seekor gajah pun. Ya, daerahnya yang kering kerontang nan gersang membuat gajah sejak jaman baholak tidak mampu hidup di sana.
Lalu bagaimana mereka mendapatkan gading? Konon dari sumber yang saya dapat, gading-gading tersebut berasal daripenduduk Lamaholot yang pergi merantau ke Jawa dan Malaysia. Harganya juga fantastis, saat ini ditaksir harga sebuah gading gajah bervariasi antara Rp 13 juta-Rp 100 juta per batang.
Begitu berat perjuangan mendapatkan sebuah gading. Hal ini mungkin melambangkan berapa tinggi derajat kaum wanita dalampandangan etnis Lamaholot. Jadi tak semudah itu memperistri seorang gadis Lamaholot. Kesepakatan yang dicapai dalam urusan belis menjadi tanda penghargaan dan penghormatan terhadap wanita dan keluarganya. Urusan belis bukannya tanpa kontra, kini banyak suara dari kaum muda Lamaholot yang ingin urusan belis ini disederhanakan. Isu-isu lingkungan juga disuarakan untuk menjaga populasi gajah yang semakin langka.
Karena keunikannya lah etnis Lamaholot begitu meninggalkan kesan bagi saya. Keunikan yang tak ada duanya. Apapun bentuknya kita tetap harus menghargai segala kearifan lokal etnis Lamaholot. Sebuah warisan budaya yang patut kita jaga dan pelihara sebagai salah satu wujud kekayaan Bangsa.
=====
@RizkiZulfitri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H