[caption id="attachment_316961" align="aligncenter" width="500" caption="foto: http://acehdalamsejarah.blogspot.com"][/caption]
Orang bilang cinta itu datang dari mata turun ke hati. Mungkin benar adanya, hanya lewat pandangan pertama, Joni Kapluk (Abdul Hadi) langsung menaruh hati kepada Yusniar (Nurhasyidah) si kembang desa. Bak gayung bersambut, Yusniar pun seakan terhipnotis cintanya Joni. Singkat cerita, mereka pun mengikat tali cinta sehidup semati.
Akan tetapi kisah cinta mereka tak berjalan mulus. Hubungan Joni dan Yusniar mendapat tantangan keras dari Ayah Yusniar, Haji Uma (Umar Pradana). Joni yang sehari-hari berprofesi sebagai preman kampung dianggap orang yang tidak berpendidikan, tak pantas untuk Yusniar yang lembut, sopan dan penuh tata krama.
Tapi bukan Joni namanya jika menyerah begitu saja. Joni pun berusaha sekuat tenaga mempertahankan ikatan cintanya, walaupun terkadang nyawa sebagai taruhannya. Untunglah Joni punya sahabat seperti Mando Gapi (Sulaiman). yang mau setia membantu dan menemani Joni memperjuangkan hubungan cintanya dengan Yusniar.
***
Cerita di atas adalah sinopsis singkat film serial Eumpang Breuh (Preman Gampong) yang sangat fenomenal di Acehbeberapa tahun belakangan. Film komedi berbahasa Aceh arahan sutradara Ayah Doe ini mampu menghinoptis pecinta film di Aceh lewat ceritanya yang orisinil.
Film serial Eumpang Breuh ini telahmenjadi alternatif tontonan bagi rakyat tanah rencong yang memang haus akan hiburan. Menceritakan tentang kehidupan masyarakat Aceh pedesaan, dengan balutan komedi yang tak biasa, dibumbui dengan kisah asmara yang manis dan juga terkadang terselip pesan-pesan moral yang menyentuh.
Kata Eumpang Breuh sendiri, jika kita coba terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bermakna karung beras atau goni beras. Joni yang serba “pas-pasan” berhasil mendapatkan cintanya Yusniar yang cantik jelita, keberuntungan Joni inilah diibaratkan seperti mendapat sekarung beras.
Film serial yang bersetting di kawasan Lhoksemawe dan sekitarnya ini booming di pasaran dan telah diproduksi hingga 11 seri (mungkin akan terus bertambah). Film ini biasanya di release lewat bentuk kepingan VCD menjelang liburan Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha tiap tahunnya. Sangking antusiasnya, warga bisa bersesak-sesak di tempat penjual-penjual VCD sesaat setelah film ini beredar.
Coba tanyakan pada orang Aceh siapa sih yang tak kenal dengan aksi kocak Bang Joni dengan rambut gondrongnya, Mando Gapi dengan motor astuti-nya, Yusniar dengan pesona khas wanita Aceh atau Haji Uma dengan parang pusakanya?
Saya rasa tidak ada orang Aceh yang tak kenal mereka. Semua kalangan mulai anak-anak hingga manula hapal betul tingkah polah pemeran-pemeran serial Eumpang Breuh.
Ditonton Orang NTT
Ada cerita menarik dibalik kesuksesan serial film “Karung Beras” ini. Belum banyak yang tahu bahwa serial film Eumpang Breuh bukan hanya ditonton oleh orang Aceh saja, akan tetapi juga telah ditonton orang hingga ke Nusa Tenggara Timur (NTT) sana.
Ya, saya sedang tidak bercanda. Info ini langsung saya dapat sendiri saat saya menjadi salah seorang pendidik di Kabupaten Lembata, NTT tahun lalu. Sebagai informasi tambahan, jarak antara Aceh dan NTT adalah sekitar puluhan ribu kilometer. Untuk menuju ke Lembata paling tidak butuh empat kali transit pesawat.
Di sana saya punya adik angkat bernama Yeris. Ia mempunyai sebuah handphone merek “China” yang selalu Ia bawa kemana-mana. Hari itu saya perhatikan Ia tertawa terbahak-bahak sendiri sembari fokus memandangi layar handphone-nya. Saya yang sudah sangat penasaran langsung menghampirinya. Begitu kagetnya saya setelah melihat video yang Ia tonton adalah adegan Bang Joni sedang dikejar-kejar Haji Uma dengan parang.
Setelah menggali informasi lebih lanjut, rupa-rupanya video tersebut Ia dapat dari temannya melalui media transfer Bluetooth. Yang mereka tahu film Eumpang Breuh adalah film yang berasal dari Sulawesi sana. Mereka sama sekali tidak paham dialog yang digunakan Bang Joni, dkk. Tapi semuanya terhibur dengan akting pemeran-pemeran serial film Eumpang Breuh.
Cerita persis sama juga saya dapat dari pengalaman teman seperjuangan saya yang juga bertugas menjadi staf pengajar di Lembata. Sang teman juga terheran-heran dengan fakta bahwa salah seorang guru ditempatnya mengajar punya koleksi film Eumpang Breuh di laptopnya. Si teman tadi pun ditunjuk menjadi penerjemah film Eumpang Breuh bagi guru di sekolahnya itu.
Kok bisa ya? Padahal film Bang Joni dkk hanya diproduksi untuk lokal saja. Artinya film ini diproduksi dan beredar hanya khusus di Aceh. Penggunaan bahasa Aceh sebagai pengantar film membuat pasar film ini terbatas. Alat peredarannya juga hanya melalui kepingan VCD, artinya kemungkinan untuk di tonton oleh orang di luar Aceh itu kecil sekali.
Tapi inilah efek dari kemajuan teknologi informasi, kini semua bisa kita dapat hanya dengan sentuhan jari. Bila kita coba searching di intenet lumayan banyak potongan film Eumpang Breuh yang ada situs berbagi video Youtube. Tak menutup kemungkinan film ini telah banyak ditonton orang-orang yang tinggal jauh dari Aceh. Bahasa tidak menjadi soal, Kekuatan cerita membuat film ini mendapat tempat tersendiri di hati pencintanya.
=====
@RizkiZulfitri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H