Mohon tunggu...
25 Monica Asteriani Gracia
25 Monica Asteriani Gracia Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi Papua, Potong Jari

10 Januari 2025   21:57 Diperbarui: 10 Januari 2025   21:57 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Erwin adalah seorang pria paruh baya berkulit putih dan berambut ala Oppa Korea. Bersama Karina, anak tunggalnya yang berusia dua puluhan dengan senyum lembut dan mata yang penuh rasa penasaran, mereka berdua memulai perjalanan menjelajahi wilayah Papua yang luas dan menakjubkan. Karina memperhatikan setiap detail pemandangan di sekitar mereka. "Bapak, lihat! Begitu banyak keindahan di sini," kata Karina penuh antusiasme.

Erwin hanya tersenyum kecil, mengangguk. "Iya, Karina. Papua adalah surga tersembunyi yang belum sepenuhnya kita ketahui," jawabnya sambil menatap pemandangan di sekitar mereka. Malam mulai menyelimuti desa kecil itu. Mereka memutuskan untuk beristirahat di sebuah kampung perumahan. Karina tidur di kamarnya sendiri, sementara Erwin duduk di teras, menikmati keheningan malam.

Tengah malam datang dengan sunyi yang menggigit. Tanpa disadari, sekelompok preman menyerang dengan panah di tangan mereka. Mereka menyerbu perumahan itu, mencari siapa yang ada di dalam. Erwin berusaha melindungi Karina, tetapi satu serangan mengarah tepat ke perutnya. Darah mengalir deras. Karina menjerit histeris, tubuh bapaknya ambruk di depan matanya.

"Tidak...! Jangan!!!" teriak Karina, menangis sejadi-jadinya.

Karina melarikan diri dari pondok, menuju rumah ibunya, Naomi. Tubuhnya bergetar tak terkendali, air mata bercucuran deras. Ia langsung jatuh ke pelukan ibunya yang tengah duduk di kursi bambu. "Mamaaaa, Bapa ituuu." Karina terisak, suaranya tersekat oleh tangis. Naomi memeluk erat anaknya, berusaha menenangkan. "Tenanglah, Nak. Kita akan cari tahu apa yang terjadi," ujarnya dengan suara lembut dan penuh ketenangan. 

Mereka berdua memutuskan untuk pergi ke kota, di mana Erwin dibunuh. Perjalanan panjang dilalui dengan penuh rasa duka dan ketegangan. Setibanya di rumah sakit, mereka menghubungi dokter dan bidan yang merawat jenazah Erwin. Dokter memeriksa tubuh Erwin dengan cermat, lalu menggelengkan kepala. "Maaf, Bapak Erwin sudah meninggal dunia," ujar dokter dengan suara datar, namun menyakitkan. Naomi dan Karina menangisi kepergian Ervina. Karina memegang erat tangan ibu yang kini juga kehilangan suaminya.

Kabar kematian Erwin segera tersebar di desa. Ketua RT, dengan suara lantang dan penuh semangat, mengumumkan untuk mengadakan perang suku sebagai balas dendam atas kejahatan yang menimpa keluarga mereka. Teriakan perang pun menggelegar di desa itu. "Uwouww... uwouwww..." terdengar dari setiap sudut desa. Para pria bersiap dengan busur, panah dan pedang, sementara wanita mempersiapkan kebutuhan logistik. Karina berdiri di tengah kerumunan, air mata masih mengalir. "Ini bukan hanya balas dendam, tetapi juga penghormatan terakhir untuk Bapak yang kami cintai," katanya lirih, namun penuh tekad.

Tradisi Papua "Potong Jari" pun diadakan sebagai simbol duka, menghormati seorang anggota keluarga yang telah pergi. Semuanya dilakukan dengan penuh rasa hormat dan cinta kepada kenangan yang tidak akan terlupakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun