Mohon tunggu...
Annisa Agustina.N
Annisa Agustina.N Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Konflik Laut Cina Selatan

6 Desember 2024   11:26 Diperbarui: 6 Desember 2024   11:48 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Laut Cina Selatan (sumber : Voice of America)

Latar Belakang Konflik 

Laut Cina Selatan merupakan wilayah strategis di kawasan Asia Tenggara yang menjadi sorotan global akibat perselisihan teritorial yang rumit. Wilayah ini mencakup lebih dari 3,5 juta kilometer persegi perairan dengan sumber daya alam yang melimpah, seperti minyak, gas alam, dan hasil laut. Selain itu, kawasan ini juga merupakan jalur perdagangan internasional penting, di mana sekitar sepertiga dari perdagangan dunia, bernilai triliunan dolar, melintas setiap tahunnya. Konflik di wilayah ini dipicu oleh klaim-klaim teritorial yang saling tumpang tindih antara sejumlah negara, yaitu Tiongkok, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. Klaim-klaim ini sering bertentangan dengan aturan hukum laut internasional, terutama yang diatur oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982. 

Salah satu faktor utama yang memicu konflik adalah klaim Tiongkok atas sekitar 90% wilayah Laut Cina Selatan melalui peta "Sembilan Garis Putus" (Nine-Dash Line). Klaim ini tidak diakui oleh negara-negara lain karena dianggap tidak memiliki dasar hukum berdasarkan UNCLOS, yang menetapkan bahwa setiap negara memiliki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil laut dari pantainya. Meski begitu, Tiongkok tetap bersikeras bahwa klaim mereka didukung oleh bukti sejarah kuno, meskipun keabsahannya sering diperdebatkan. Selain itu, keberadaan dua gugus pulau utama, yaitu Kepulauan Paracel dan Spratly, semakin memperumit situasi, karena kedua gugus ini diklaim oleh beberapa negara yang melihatnya sebagai lokasi strategis dan kaya sumber daya alam. 

Ketegangan di wilayah ini semakin meningkat dengan langkah Tiongkok membangun pulau buatan di area sengketa. Proses reklamasi besar-besaran ini mencakup pembangunan fasilitas militer, landasan udara, dan infrastruktur lainnya, yang dianggap sebagai upaya untuk memperkuat kendali mereka secara praktis atas wilayah tersebut. Tindakan ini menimbulkan kecaman keras dari negara-negara di kawasan, memicu ketegangan militer yang signifikan. Insiden seperti penangkapan kapal nelayan, tabrakan kapal, serta patroli militer yang bertabrakan semakin menambah kerumitan konflik di Laut Cina Selatan. 

Pada tahun 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag mengeluarkan putusan yang menegaskan bahwa klaim "Sembilan Garis Putus" Tiongkok tidak memiliki dasar hukum internasional. Putusan ini diajukan oleh Filipina, yang merasa aktivitas Tiongkok melanggar kedaulatannya di wilayah ZEE. Namun, Tiongkok menolak untuk mematuhi keputusan tersebut dan terus melanjutkan aktivitasnya di kawasan ini. Konflik ini juga menarik perhatian kekuatan global, seperti Amerika Serikat, yang secara aktif melakukan operasi kebebasan navigasi untuk menantang klaim Tiongkok. Dengan keterlibatan berbagai kepentingan strategis, ekonomi, dan militer, Laut Cina Selatan tetap menjadi salah satu wilayah dengan potensi konflik paling tinggi di dunia. 

Dimensi Geopolitik 

image-6-67527bd734777c33fd605693.png
image-6-67527bd734777c33fd605693.png

Laut China Selatan (sumber : Koral)

Konflik di Laut Cina Selatan mencerminkan dinamika geopolitik yang rumit, melibatkan berbagai kepentingan regional maupun global. Kawasan ini bukan hanya penting bagi negara-negara pesisir, tetapi juga menjadi perhatian kekuatan global seperti Amerika Serikat dan sekutunya. Mereka memandang Laut Cina Selatan sebagai jalur perdagangan yang strategis sekaligus medan persaingan pengaruh dengan Tiongkok. Dimensi geopolitik ini mencakup aspek klaim teritorial, aktivitas militer di kawasan, hingga keterlibatan aktor internasional, yang semuanya memperburuk ketegangan dan meningkatkan potensi konflik.  Di tingkat regional, negara-negara ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei memiliki klaim yang saling tumpang tindih atas Laut Cina Selatan, yang berlawanan dengan klaim luas Tiongkok berdasarkan peta "Sembilan Garis Putus." Masing-masing negara berupaya memperkuat posisi mereka, baik melalui pembangunan infrastruktur di wilayah sengketa maupun dengan diplomasi internasional. Contohnya, Filipina membawa sengketa ini ke Pengadilan Arbitrase Permanen pada 2016 dan memenangkan gugatan terhadap Tiongkok. Namun, perbedaan pendekatan di antara negara-negara ASEAN, yang dipengaruhi oleh hubungan ekonomi dan strategi masing-masing terhadap Tiongkok, membuat upaya kolektif dalam menanggapi klaim Tiongkok menjadi lemah. 

Bagi Tiongkok, Laut Cina Selatan memiliki nilai strategis yang sangat besar, baik dari segi ekonomi maupun keamanan nasional. Selain kekayaan sumber daya alamnya, wilayah ini menjadi jalur penting untuk perdagangan dan pasokan energi bagi Beijing. Dalam memperkuat klaimnya, Tiongkok menggunakan strategi pembangunan pulau buatan yang dilengkapi dengan fasilitas militer seperti landasan udara, pelabuhan, dan sistem radar. Langkah ini dirancang untuk menciptakan kontrol de facto atas wilayah tersebut, meskipun menuai kritik keras dari negara-negara lain yang menganggapnya sebagai pelanggaran kedaulatan dan hukum internasional.  Pada tingkat global, Laut Cina Selatan menjadi arena persaingan antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Bagi Amerika Serikat, wilayah ini merupakan bagian dari strategi Indo-Pasifik untuk membatasi pengaruh Tiongkok di kawasan Asia. Melalui operasi kebebasan navigasi (Freedom of Navigation Operations/FONOPs), Amerika Serikat secara aktif menantang klaim Tiongkok dengan berlayar dekat pulau-pulau buatan yang disengketakan. Langkah ini dimaksudkan untuk mempertahankan prinsip kebebasan navigasi serta mencegah dominasi Beijing atas wilayah perairan internasional tersebut. 

Selain Amerika Serikat, sekutu-sekutunya seperti Jepang dan Australia juga memperluas dimensi geopolitik konflik ini. Negara-negara tersebut khawatir terhadap dampak dari meningkatnya kekuatan militer Tiongkok di Laut Cina Selatan terhadap stabilitas kawasan. Oleh karena itu, mereka memperkuat kerjasama pertahanan dengan negara-negara ASEAN dan meningkatkan latihan militer bersama untuk mengantisipasi ancaman potensial.  Upaya penyelesaian konflik secara multilateral juga menghadapi berbagai hambatan. Meski ASEAN dan Tiongkok berusaha menyusun Kode Etik (Code of Conduct/COC) untuk mengatur perilaku di wilayah sengketa, proses ini berjalan lambat karena perbedaan kepentingan. Alhasil, Laut Cina Selatan tetap menjadi kawasan yang sangat rawan terhadap eskalasi konflik, mencerminkan ketegangan geopolitik antara kekuatan besar dan aktor regional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun