Kesehatan mental adalah aspek yang semakin mendapatkan perhatian dalam dunia pendidikan, khususnya di kalangan mahasiswa kedokteran. Saya sering melihat rekan-rekan saya berjuang dengan tantangan mental akibat beban akademik yang berat dan tekanan tinggi. Isu kesehatan mental mahasiswa kedokteran sering terabaikan di tengah kesibukan akademik. Mereka dituntut untuk menguasai berbagai disiplin ilmu dan menjalani jadwal belajar yang intens, membuat mereka rentan terhadap stres, kecemasan, dan depresi. Oleh karena itu, penting untuk memberikan edukasi yang memadai tentang kesehatan mental. Artikel ini membahas urgensi edukasi kesehatan mental di kalangan mahasiswa kedokteran, contoh program dukungan di universitas Indonesia, dan langkah-langkah untuk meningkatkan kesadaran dan dukungan terhadap kesehatan mental.
Mahasiswa kedokteran sering menghadapi tantangan yang memengaruhi kesehatan mental mereka. Studi yang dipublikasikan oleh Journal of the American Medical Association (JAMA) pada 2016 melaporkan bahwa lebih dari 27% mahasiswa kedokteran di seluruh dunia mengalami gejala depresi, dan sekitar 11% memiliki pemikiran untuk bunuh diri. Di Indonesia, tingkat kecemasan mencapai 22,4%, dengan mahasiswa perempuan mengalami kecemasan tingkat sedang hingga berat yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa laki-laki, di mana 91,6% merasa cemas akibat banyaknya ujian (Srinivasagam dan Satriyasa, 2020, dalam Nabilah Nurul Madinah, Suprihhartini 2023:1511). Penyebab utama masalah kesehatan mental ini termasuk beban akademik yang tinggi akibat kurikulum padat dan kompetitif, stres emosional dari tuntutan akademik, serta kurangnya dukungan sosial, karena banyak mahasiswa merasa terisolasi tanpa dukungan emosional yang cukup dari teman sebaya atau keluarga. Selain itu, kurangnya edukasi mengenai kesehatan mental selama kuliah menjadi faktor signifikan. Mahasiswa kedokteran lebih difokuskan pada aspek fisik kesehatan, sementara pemahaman tentang kesehatan mental dan keterampilan manajemen stres sangat diperlukan untuk menghadapi tekanan di lingkungan pendidikan kedokteran yang intens. Kondisi ini mengkhawatirkan karena masalah kesehatan mental di kalangan mahasiswa kedokteran dapat berdampak negatif pada kehidupan pribadi mereka dan berpotensi memengaruhi kualitas pelayanan kesehatan yang akan mereka berikan di masa depan, mempersulit calon dokter dalam bekerja efisien dan menjaga hubungan baik dengan pasien.
Beberapa universitas di Indonesia telah mengambil langkah positif dalam mendukung kesehatan mental mahasiswa kedokteran. Universitas Indonesia (UI) mengembangkan program "Konseling Mahasiswa" yang menyediakan layanan konseling psikologis gratis dan menyelenggarakan seminar serta workshop tentang manajemen stres dan kesehatan mental, efektif dalam meningkatkan kesadaran mahasiswa. Universitas Gadjah Mada (UGM) memiliki inisiatif "UGM Sehat" yang fokus pada kesehatan mental mahasiswa, menawarkan penyuluhan, konseling, dan kegiatan yang mendorong interaksi sosial. Universitas Airlangga (Unair) menyediakan layanan kesehatan mental melalui Pusat Layanan Psikologi, yang mencakup konseling, psikoterapi, dan workshop. Dengan pendekatan holistik, Unair berupaya menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan mental mahasiswa.
Oleh karena itu, langkah strategis yang perlu diambil adalah mengintegrasikan pendidikan kesehatan mental ke dalam kurikulum kedokteran. Edukasi ini memungkinkan mahasiswa untuk mengenali gejala awal gangguan mental, seperti stres dan kecemasan, serta mengetahui kapan harus mencari bantuan. Pendidikan kesehatan mental juga sebaiknya mencakup pelatihan keterampilan coping, seperti teknik relaksasi, manajemen waktu, dan strategi dukungan sosial. Dengan pembekalan ini, mahasiswa kedokteran akan lebih siap menghadapi tekanan saat studi maupun dalam karier mereka. Selain itu, institusi pendidikan harus menyediakan akses mudah ke layanan konseling dan dukungan psikologis yang profesional dan ramah, tanpa stigma, agar mahasiswa merasa nyaman meminta bantuan. Program serupa telah diterapkan di beberapa universitas luar negeri, seperti Harvard Medical School, di mana mahasiswa kedokteran dapat dengan mudah mengakses konseling dan program dukungan untuk mengelola stres dan kecemasan. Dengan dukungan yang tepat, mahasiswa kedokteran dapat mengembangkan resiliensi yang membantu mereka menghadapi tantangan di dunia kerja.
Selain itu, pendekatan proaktif perlu diterapkan untuk membentuk budaya kesehatan mental yang positif di pendidikan kedokteran. Institusi pendidikan harus mengadakan diskusi terbuka tentang pentingnya kesehatan mental, agar mahasiswa tidak menganggap permintaan bantuan psikologis sebagai tanda kelemahan. Menghilangkan stigma mengenai kesehatan mental di lingkungan akademik akan membuat mahasiswa merasa lebih nyaman mencari dukungan saat dibutuhkan. Budaya yang mendukung kesehatan mental di kampus dapat efektif menekan angka gangguan mental di kalangan mahasiswa kedokteran. Penting juga untuk melibatkan dosen dan staf pengajar dalam menciptakan lingkungan yang mendukung. Pengajar yang memahami kesehatan mental akan lebih peka terhadap kondisi emosional mahasiswa dan dapat memberikan dukungan ketika diperlukan. Dosen dapat dilatih untuk mengenali tanda-tanda stres atau kelelahan pada mahasiswa dan mengarahkan mereka untuk mencari dukungan lebih lanjut. Kolaborasi antara fakultas, layanan konseling, dan mahasiswa sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung.
Mahasiswa kedokteran adalah calon dokter yang berperan penting dalam sistem kesehatan masyarakat, sehingga kesehatan mental mereka perlu mendapat perhatian serius. Dengan mengintegrasikan edukasi kesehatan mental ke dalam kurikulum, menyediakan layanan konseling yang mudah diakses, dan membangun budaya yang mendukung kesehatan mental, institusi pendidikan dapat membantu mahasiswa kedokteran menjadi tenaga medis yang kompeten secara klinis dan memiliki kesejahteraan mental yang baik. Sebagai mahasiswa yang terlibat di dunia kedokteran dan menyaksikan dampak tekanan akademik pada kesehatan mental, saya yakin investasi dalam kesehatan mental mahasiswa kedokteran akan menguntungkan mereka secara pribadi dan masyarakat secara luas. Kesehatan mental yang baik akan membantu calon dokter memberikan pelayanan yang berkualitas, empatik, dan mendukung kualitas hidup pasien mereka. Oleh karena itu, institusi pendidikan kedokteran di Indonesia harus mempertimbangkan kesehatan mental sebagai aspek utama dalam pembentukan calon dokter masa depan. Dengan memberikan akses memadai terhadap dukungan kesehatan mental dan menciptakan lingkungan yang inklusif serta peduli, kita tidak hanya mempersiapkan dokter yang mampu merawat pasien, tetapi juga dokter yang dapat merawat diri sendiri dan menjalankan profesinya dengan dedikasi dan kebijaksanaan.
Daftar Pustaka :
Nabilah Nurul Madinah, Suprihhartini, Wijayanti Fuad. 2023. "Hubungan Kecemasan Dengan Kelelahan Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang Angkatan 2019." Jurnal Ilmu Kesehatan Dan Kedokteran 10(2):1510--16. doi: https://doi.org/10.33024/jikk.v10i2.9169.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). "Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas).
Universitas Indonesia. (2023). Layanan Konseling Mahasiswa.