Mohon tunggu...
Dara Raihatul Jannah
Dara Raihatul Jannah Mohon Tunggu... Human Resources - lihat lalu tulis, dengar lalu tulis, baca lalu tulis.

Book enthusiast! Senang menulis POV tentang buku-buku yang sudah dibaca.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Hadih Maja: Pusaka Aceh Dulu, Kini, dan Nanti

10 Agustus 2021   15:43 Diperbarui: 16 Agustus 2021   09:24 1258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Halo Lokal. Sumber ilustrasi: PEXELS/Ahmad Syahrir

Indonesia kini dengan segala perkembangannya telah mengubah perspektif bangsa terhadap kearifan lokal. Seperti yang pernah ditulis Suyono Suyatno, mirip benda pusaka, diwarisi dari leluhur, kita simpan dan kita pelihara, tetapi tak mampu diimplementasikan dalam kehidupan nyata sehingga pusaka tersebut sia-sia dalam merespons tantangan zaman, begitulah realitas akan kearifan lokal saat ini.

Mari berjalan-jalan ke wilayah Aceh, salah satu kearifan lokal Aceh dikenal dengan sebutan Hadih Maja. Sebagai produk sosial budaya etnis Aceh, dari pandangan ilmu sastra, Hadih Maja merupakan puisi lisan dengan struktur, fungsi, dan nilai yang menjadi satu kesatuan.

Dalam sejarahnya, Hadih Maja diartikan sebagai penuturan "indatu" (tokoh terdahulu) yang sarat dengan nilai-nilai moral dan ketuhanan yang diinspirasikan oleh ajaran agama. Orang Aceh menjadikan Hadih Maja sebagai salah satu pedoman hidup, karena mengandung amanat, petuah, dan pelajaran-pelajaran kehidupan yang penting serta berakar dalam konteks kehidupan masyarakat. Sehingga ia menepati posisi sentral sebagai salah satu agen budaya dalam kerangka way of life.

Penulis tertarik untuk mengangkat isu ini dikarenakan pengalaman pribadi saat tahun pertama masuk Fakultas Hukum Univeristas Syiah Kuala menemukan tulisan "Adat Bak Poteumeurehom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang, Reusam Bak Laksama". (Adat di tangan Sultan Iskandar Muda (nama lainnya Poteumeureuhom, Hukum di tangan Syiah Kuala (ulama Aceh), Qanun di tangan Putri Pahang, Resam di tangan Laksamana(Perwira TNI)). Meskipun diukir dengan ukuran besar agar terlihat jelas di ruang tunggu Fakultas, saya sama sekali tidak paham makna dan korelasi antara tulisan tersebut dengan Fakultas Hukum. Kemudian saat sesi perkuliahan di mulai seorang dosen memulai kelasnya dengan menanyakan maksud kalimat tersebut namun sayang hampir tidak ada respon dari mahasiswa/i. Lantas dosen menjelaskan secara singkat dan memperkenalkan kalimat tersebut sebagai Hadih Maja.

Kejadian tersebut memantik penulis untuk mencari tahu secara komperhensif sejarah dan fungsi dari Hadih Maja diatas dalam dunia hukum. Setelah mempelajari beberapa literature dan berdiskusi fakta menariknya hadih maja tersebut bukan sekedar kata-kata aesthetic untuk dikenang sebagai peninggalan sejarah kebudayaan akan tetapi sangat berpengaruh terhadap hukum di Aceh bahkan digunakan sampai dengan sekarang.

Mari mulai dari membahas makna yang terkandung dalam Hadih Maja di atas. Sebagaimana dijelaskan dalam keputusan Rapat Kerja Lembaga Adat Kebudayaan Aceh (LAKA) yang telah berubah menjadi Majelis Adat Aceh (MAA) di Banda Aceh pada 8-11 Oktober 1990 pemaknaan Hadih Maja  dibagi menjadi 3 yaitu: Pertama, mengandung makna simbolis sebagai politik pemerintahan, lambang pembagian kekuasaan lembaga negara dan lambang kearifan lokal serta kebijaksanaan. Kedua, mengandung makna dalam nama-nama yang disebut dalam Hadih Maja. Seperti Poteumeureuhom, bermakna adat dipegang oleh kekuasaan Eksekutif, Poteumuereuhom adalah sultan yang memerintah kala itu. Selanjutnya Syiah Kuala, bermakna ulaman sebagai pemegang yudikatif (pelaksanaan hukum). Lalu Putroe Phang, bermakna cendekiawan legislative (Pembuat produk hukum). Terakhir Laksamana, bermakna ketahanan daerah dipegang oleh para militer. Berikutnya pemaknaan ketiga, Hadih Maja berarti produk adat. Ada 4 (empat) macam yaitu, Adat Magkota (Adat Meukuta Alam), Adat tunah, Adat mahkamah dan Adat reusam. Sehingga Hadih Maja disimpulkan menjadi sumber hukum materiil dan formiil untuk pembaharuan hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Aceh.

Hadih Maja yang disebutkan diatas merupakan wujud budaya hukum (Salah satu unsur pembentuk sistem hukum) yang diartikan sebagai nilai, pemikiran serta garapan atas kaidah atau norma dalam kehidupan sosial masyarakat. Terwujudnya unsur budaya harus didukung perangkat hukum yang akomodatif dan responsif terhadap dinamika dan aspirasi masyarakat masa kini yang terus berubah. Sebagai daerah yang mendapatkan otonomi khusus, Aceh memiliki keleluasaan untuk mengatur wilayahnya sendiri.

Kearifan lokal seperti Hadih Maja diatas adalah unsur penting dalam pembentukan politik hukum di Aceh. Qanun (kanun) sebagai salah satu jenis peraturan daerah mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat telah masyhur dikenal sampai ke luar Aceh. Eksistensi Qanun merupakan bukti hasil revitalisasi kearifan lokal berbentuk Hadih Maja. 

Kalimat Hadih Maja "Qanun bak Putroe Phang" menjadi bukti dibentuknya undang-undang yang kala itu diamanahkan pada Majelis Mahkamah Rakyat. Ide itu diinisiasi oleh Putroe Phang atau Puteri Pahang, permaisuri Sultan Iskandar Muda. Awalnya Qanun terbentuk terkait kasus Faraidh (pembagian harta warisan) antara ahli waris perempuan dengan ahli waris laki-laki. Ahli waris perempuan mendapat sawah dan ahli waris laki-laki mendapatkan rumah. Ahli waris perempuan diputuskan untuk meninggalkan rumah warisan karena akan ditempati ahli watis laki-laki. Namun ahli waris perempuan tidak bersedia, karena tidak memiliki rumah sebagai tempat tinggal. Kasus didengar oleh putri Pahang lalu ia membela ahli waris perempuan dengan alasan perempuan yang tidak memliki rumah tidak bisa tinggal di Meunasah (musalla) seperti laki-laki. Pembelaan ini kemudian disetujui Sultan Iskandar Muda dan sejak itulah menjadi hukum dan disebut Qanun yang ditetapkan oleh Mahkamah Rakyat dimasa pemerintahan Ratu Tajul Alam Safiatuddin.

Selanjutnya pada masa pemerintahan yang sama dikenal pula produk hukum bernamakan Qanun Meukuta alam sebagai pengaturan Adat Aceh. Kemudian Qanun terus dilaksanakan dan mengalami perubahan-perubahan hingga kemudian istilah Qanun dipakai sebagai nama lain dari Peraturan Daerah yang ruang lingkupnya berlaku di Provinsi Aceh dan Kabupaten/Kota dalam Provinsi Aceh (Vide Pasal 1 angka 21 UU No 11 Tahun 2006).

Perbedaan paling kentara antara Qanun dengan Peraturan Daerah lain terdapat pada materi muatannya. Qanun secara khusus mengatur pelaksanaan syari'at islam di Aceh meliputi ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muammalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan), tabiyah (pendidikan), dakwah, syi'ar dan pembelaan Islam, perizinan pendirian tempat ibdah, serta hukum acara pada mahkamah syar'iyah. Revitalisasi produk hukum berupa Qanun juga terus bermunculan di tingkat desa untuk ketahanan identitas budaya dan adat seperti pengaturan resepsi pernikahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun