Dialog September
Aku telah membeli begitu banyak air mata dari rumah suwung peninggalan para orang-orang yang ingkar itu, Sean.
Meletakkan rapi di dada juga keningku yang bergelombang.
Terkadang ia kudiamkan sampai didihnya luber ke pipi. Tapi lebih sering kunyanyikan bersama rentak dini, menjelang subuh.
Sekali waktu kau berkunjung, dan kulihat kau tercenung. Memandang lesi dengan bibir menggigil sepucat bayi yang kehilangan peluk ibu. "Masih kurangkah duka kita, Hun?" Langkahmu surut ke sudut, memengang tepian pintu, menyusun kata-kata tapi urung kau lahirkan. Sebab perihmu datang lebih awal, berjejal-jejal.
Tak apa-apa, Sayang. Aku akan kehilangan teman berbincang jika kau pergi nanti, sedang bunda telah cukup renta dengan ingatan putri kesayangannya, setelah sibuk menimang doa-doa baru. Lantas, bagaimana caraku menyiasati sepi? Selain memandang berulang bulan datar, mengingatmu, lalu kembali bercengkerama dengannya, air mata berwajah sejuta cerita.
Aku tua di gigir september ini, semenjakmu tiba tadi siang sebelum kau bilang bahwa pertalian kita akan dipercepat. Kau takut aku akan lupa janji kita? Sean, aku ini perempuan. Dan se-naif-naifnya ingatan, tak mungkin janji itu kulepas. Atau kau punya rencana berbeda?
Sean, mulailah mengerti dan menganggapku sebagai kekasih. Bukan sepasang janji januari yang pernah kuabai dulu.
Kiar 916.[caption caption="Hype.idntimes.com"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H