Â
[caption caption="Shine of rainbow"][/caption]Jejak hujan dan suara kaki. Aku mencatat basah begitu ritmis dari mata seorang nona yang telah demikian rela menelanjangi diri dari riuh. Melangkah ia menuju sebuah ujung dengan bimbang. Menyanyikan gerhana dibawa angin musim semi di kotamu. Sedang kelelahan adalah anak-anak yang lahir demikian cepat, rapat-rapat.
Kata-kata masih sempat tiba, terkadang ia menemui pagi, lalu malam dan gelap wajah lampu neon di beranda rumah yang sejak lama dibiarkannya padam. "Demi mengabadikan kepergian." Bisiknya lebih lirih dari suasana hatinya sendiri yang perih.
Kurun menenun ingatan agar abadi dan tak terganti.
Semisal tentang kepergian kali pertama, ia sudah cukup lara. Menemuimu seperti anggrek, sekejab tersenyum sebelum hatinya lebih gosong dari yang sudah-sudah. Lalu jari runcing itu kian kerap menulisi mimpi-mimpi, tapi tetap meyakini bahwa ia hanya bunga tidur yang akan luntur seiring embun bertutur.
"Tak mengapa," katanya lagi pada tempat pertemuan kalian yang telah kau abaikan. Dijatuhkan namanya di sana, dikutipnya namamu, dilambungkan tinggi-tinggi sebelum ia membenamkan jasatnya ke bumi.
Kiar, 14 Oktober 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H