Perihal jejak yang sambat, Bang. Kau tahu apa tentang bilur? Bahkan ketika ungu tidak lagi menjadi hal tabu. Aku masih berusaha baik-baik saja, melubangi kenang, berharap ia rembas dan kering dari ingatan.
Lalu menyesap sepi setara kopi yang dalam aromanya telah kau beri mantra penggugur untuk rindu jika kelak ia lahir.
Kuakui, Aku bukan pendoa yang baik, bahkan dalam bilang dupa, hampir tak pernah tuntas setiap batang itu kusebut namamu.
Bukan enggan, lebih kepada sebuah kemungkinan, aku tak ingin melupakanmu. Membawa cinta pergi sejauh mungkin, lalu menikmati kesendirian yang tunggal.
Ini perihal cinta, Bang. Di mana debar semakin senyap dari bait-bait matamu yang hitam. Meninggalkan seonggok sepi serupa pesan, "bahagialah kau di sana."
Lantas, kau pikir semudah itu menggapai tawa? Kukira kau lupa membaca retak dadaku yang pasi akibat janji tempo hari. Semisal penyasalan, itu yang kurasakan.
Demi menepati sebuah putih dari bilang hitam di jantungku, aku mengalah. Tapi jangan sekalipun kau selip ucap bahagia di bahuku. Karena kau tahu kemana muara rindu ini tertuju.
Kiara 20 september 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H