Mohon tunggu...
Kang Miftah
Kang Miftah Mohon Tunggu... Administrasi - Kontributor Kompasiana

Kompasianer 2012 Hp : 081586662186

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Bersahabat Tanpa Membedakan Suku, Agama, RAS dan Golongan Itu Menyenangkan

25 Februari 2015   20:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:31 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Koleksi Foto Pribadi

Tepatnya senin, 23 februari 2015 sekitar pukul 18.00 setiba di stasiun bogor pasca pulang kerja, penulis menyempatkan waktu berjalan jalan di sekitaran jalan raden ajeng kartini untuk menunaikan solat Magrib di mushola terdekat yang berlokasi di lantai dasar pusat pertokoan Grosir Bogor (PGB). Ketika melewati toko berukuran 2x3 meter, pandangan mata saya langsung terhenti ketika bapak bertubuh gempal terlihat sedang duduk bersama seorang wanita sambil menggosok batu akik. Wajahnya sangat familiar dan jika diteliti dari gayanya bertutur, saya yakin kalau dirinya adalah warga papua.

Pace dari papua kah? Tanya saya padanya. Lalu seketika raut wajah beliau nampak sumringah, matanya berbinar binar menatap tajam wajah penulis, seakan sore itu ia baru bertemu dengan saudara dekatnya yang sudah lama tidak bersua. “Hei.. Ko bisa bahasa papua, pernah tinggal di papu juga kah?” Tanya beliau dengan mantap. “Iya pace, saya su tiga tahun kerja disana”, kata saya. Hingga akhirnya kami larut dalam suasana penuh akrab. Alhasil gara gara ngobrol sore itu saya jadi tahu kalau dirinya sudah menetap di bogor lebih dari 13 tahun dan wanita yang duduk di samping beliau adalah istri tercintanya

Sungguh saya amat takjub pada kegigihan serta kebulatan tekad pace papua yang satu ini. Dengan gagah berani ia memutuskan hidup di tanah rantau, yaitu kota Bogor dan rela meninggalkan tanah kelahiran demi anak istri dalam waktu yang sangat lama. Bagi saya ini termasuk peristiwa langka. Dari pengalaman kunjungan ke beberapa daerah, termasuk di kota bogor, baru sore kemarin saya bisa menyaksikan ada warga papua ber istrikan wanita sunda. Sepengetahuan penulis saat menetap di sana, kebanyakan lelaki papua beristrikan orang luar jawa, paling tidak dari makasar, Kalimantan dan manado. Yang pasti jarang sekali orang papua menikahi suku sunda. Semoga saja pandangan penulis tidak keliru.

Kembali pada cerita diatas, kala suara adzan telah berkumandang maka sore itu saya memutuskan untuk segera bergegas menunaikan solat magrib. Dan sebagai rasa simpati saya padanya, sebelum kami berpisah, saya coba menitipkan nama dan alamat rumah guna merajut silaturahmi yang lebih intim. Dengan harapan barangkali saja kita bisa bersilaturahmi kembali dan mempertemukan dua keluarga (istri beliau dengan istri dan anak anak saya) dikemudian hari. Setelah itu, saat kaki ini baru saja mau melangkah meninggalkan toko, tiba tiba pace itu berkata “kamu suka cintin yang mana? berhubung kamu kenal baik sama warga papua, saya mau kasih kamu batu akik dengan harga murah, cukup bayar ikatan cincinnya saja, silakan pilih sendiri!! Pungkasnya… Nah loh??

14248452431701272492
14248452431701272492

Cincin Batu Akik Pengasih Pace Papua (koleksi foto pribadi)

Catatan :

Sepenggal cerita diatas terdapat hikmah yang bisa penulis petik :

Pertama ternyata menjalin komunikasi tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan, mampu membuahkan nilai kebaikan. Jalinan silaturahmi benar benar dapat menuai berkah, termasuk diantaranya bisa membuka pintu rejeki (ini bukan sekedar teori lho). Gara gara saya membuka diri dan berupaya kenal baik dengan bapak itu, saya akhirnya di diberikan harga spesial plus diberi kebebasan untuk memilih barang yang kita kehendaki. Dititik ini kita dilarang bersikap aji mumpung….

Kedua, dimanapun kita berada, kalau bersikap ramah terhadap orang lain, tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan, akan timbul rasa saling memiliki, sehingga tercipta kehidupan yang aman dan damai. Sempat terbersit dalam ingatan, jika dikemudian hari saya punya masalah dengan orang papua, entah karena urusan apapun itu? Pace ini saya rasa bisa diperbantukan untuk menengahi, pun sebaliknya.

Ketiga, , melalui sikap terbuka kepada sesama, tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan, dapat menumbuhkan rasa saling percaya. Sehingga kita dapat terhindar dari perilaku penipuan. Banyak kasus yang pernah penulis alami sendiri, ketika berbelanja di pasar tiba tiba si penjual menawarkan harga se enaknya sambil membujuk rayu dibumbui dengan ragam kabualan, barang kwalitas jelek dibilang bagus dan harganya selangit, pasti anda pernah mengalami kasus demikian tho?

Coba kalau kita ketemu penjual berkebangsaan cina manggilnya “Koh atau Nci”, saat berkunjung ke toko orang arab panggilnya Habib, atau ketika datang ke tukang tambal ban, panggil dia Abang, termasuk saat kita makan di warteg atau rumah makan padang menyapa si penjaga dengan sebutan akang teteh atau uni dan uda, pasti penerimaannya lebih baik. Syaratnya bersikap terbuka, ramah dan gunakan bahasa yang baik dan sopan

Ke empat, masih ada kaitannya dengan point diatas, dengan bermodal kepercayaan, kita mudah mencari solusi ketika situasi diri sedang dilanda kepepet. Semisal ketika mau berbelanja dan uang yang kita bawa tidak mencukupi, untuk sementara waktu jadi bisa numpang ngutang sama penjaga toko. Walau dalam konteks yang lain, hal Ini pernah saya alami ketika duduk di bangku SMA. Waktu itu saya punya langganan makan mie ayam di depan gerbang sekolah, hubungan saya dengan si penjual mie ayam cukup dekat. Satu waktu uang jajan sekolah tertinggal di rumah dan saat jam istirahat akhirnya saya di ijinkan kasbon oleh si abang demi memenuhi rasa lapar karena gak bawa uang jajan.

Ke lima, Sikap terbuka dan saling menghargai terhadap sesama menjadi modal yang baik untuk menciptakan rasa aman. Segala Asset yang kita punya dijamin akan terlindung dari tangan tangan jahil. Saya punya pengalaman menarik terkait point terakhir ini. Ketika musim hujan kemarin, penulis tiap hari memarkirkan motor di area lahan terbuka stasiun bogor. Entah siapa yang berbuat, dari sekian ratus motor yang terparkir dipinggir jalanan stasiun, helm saya adalah satu satunya yang ditemukan dalam kondisi ditutupi plastik. Atas kejadian tersebut saya punya firasat baik kalau seseorang yang mengamankan helm tersebut adalah tukang ojek yang biasa saya akrabi.

Saya memanggil beliau dengan sebutan BABEH. Ia adalah bapak paruh baya yang suka saya ajak ngobrol disela memanasi motor saat pulang kerja dan si Babeh sering menjadikan motor saya sebagai tempat langganan duduk di sela sela menunggu para calon penumpang. Pernah satu ketika, saya menangkap beliau sedang asyik berbincang dengan rekannya sesama tukang ojek sambil menyuruput kopi hitam di tangannya, ketika saya mendekat guna mengambil motor, dengan sigap si babeh berkata “baru pulang kerja pak? Biar saya aja yang tarik motornya.. Duh!!



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun