Ilustrasi Gambar (koleksi pribadi)
Baru berselang lima belas menit duduk di meja kerja, tiba tiba sang istri menelpon. Suaranya agak berat, sambil sesenggukan ia mengabarkan kalau bibi kesayangannya meninggal dunia. Atas informasi tersebut, langsung ku tutup kembali layar laptop dan minta ijin pulang cepat sama atasan.
“Sungguh maut itu teramat dekat”
***
(diangkat dari kisah nyata)
Tepatnya senin, 26 Januari 2015 penulis menerima kabar kalau perempuan yang selama ini menjadi teman curhat si Bunda (panggilan penulis kepada istri) telah dipanggil sang Maha Kuasa. Kematiannya begitu mendadak. Antara percaya gak percaya, karena sepengetahuan penulis, wanita usia 38 tahun itu terlihat sehat dan energik. Selain berjiwa mandiri, dalam kesehariannya almarhum adalah pribadi yang taat dan patuh sama orang tua. Tersebab dirinya belum menikah, hari hari beliau di habiskan untuk mengurusi Ibunda tercinta yang kini telah berusia senja dan sering sakit sakitan.
Penulis coba merekam aktivitas di masa mendatang pasca sepeninggalan almarhum. Ibunya yang selama ini ia temani, dari mengurus makan, memandikannya sampai mencuci pakaian sehari hari tentu akan merasa amat kehilangan. Yang biasa pagi hari dibuatkan bubur atau minuman hangat, tiba tiba tangan wanita terampil itu sudah tiada, ibu renta yang mulai pikun itu harus rela menjalani hidup dalam kesepian. Jikapun ada kakak lelaki atau menantu perempuannya berkenan mengurusi beliau, tentu tidak akan setelaten almarhum. Apalagi ada selentingan kalau selama ini anak anak yang lain tidak menaruh rasa peduli.
Satu ketika semasa almarhum masih hidup, ia pernah curhat terkait prilaku saudara serumah kepada istri penulis. Inti dari curhatan itu menyerempet masalah harta warisan dan pembagian uang sewa ruko milik ibunda yang dirasa proses bagi hasilnya tidak adil. Uang itu di kelola sama kakak ketiga beliau. Semisal, uang sewa satu ruko sebesar 700.000/bulan, ruko milik ibunya berjumlah 4 ruko. Maka total pendapatan setiap bulan sebesar dua juta delapan ratus ribu rupiah. Sementara dari penghasilan tersebut almarhum hanya diberi jatah 20.000/hari. Uang dua puluh ribu itu dialokasikan untuk membiayai kebutuhan makan sehari hari termasuk biaya mengurusi tetek bengek sang ibu.
Sungguh miris kedengarannya. Sosok ibu bersusah payah melahirkan dan jelas jelas lagi sakit serta butuh perhatian khusus hanya di bandrol dua puluh ribu rupiah untuk kehidupan sehari hari oleh anak yang dilahirkannya. Padahal beberapa kontrakan yang selama ini menjadi sumber penghasilan sang anak, murni seratus persen hasil perjuangan sang ibu bersama suami tercinta semasa hidup. Yang konyolnya lagi, disaat sang ibu belum tiada, mereka sudah bergunjing soal harta warisan!!. Pemandangan ini tentu bukan hal baru kita temui di bumi indonesia. Di beberapa tempat, bahkan penulis pernah baca artikel di media lokal, sampai ada kasus demi mendapatkan sejumlah warisan, satu keluarga rela saling tikam.
Semoga kasus seperti ini tidak terjadi pada diri kita. Menurut hemat penulis, harta warisan itu hawanya memang panas, keberadaannya seringkali merusak kekerabatan. Jadi kalau ingin menjaga hubungan baik sesama keluarga, jangan pernah menyinggung apalagi tertarik memperebutkan warisan.Terkait sikap kikir yang di tunjukkan kakak kandung almarhum dan tidak adanya rasa empati seorang anak kepada ibunya, pernyataan KH. Djujun Djunaediberikut ini layak kita jadikan sebagai rujukan untuk bercermin. “seorang ibu mampu melahirkan dan merawat delapan orang anak secara baik lalu mengantarnya ke pintu sukses, tapi dari delapan orang anak belum tentu bisa merawat dengan baik seorang ibu”.
Salam santun,
Miftah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H