Mohon tunggu...
Pahriah
Pahriah Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa S3 Universitas Pendidikan Ganesha

Menulis adalah cara kita berbicara dengan dunia, menyampaikan ide dan perasaan yang mungkin tak bisa diungkapkan dengan kata-kata biasa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pancasila: Simbol yang Dihormati, Bukan Diterapkan

27 November 2024   17:09 Diperbarui: 27 November 2024   17:20 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Google Image

Pagi itu, di sebuah kota besar, bendera-bendera merah putih berkibar megah. Ribuan orang berkumpul di alun-alun, mengenakan pakaian serba putih, menyanyikan lagu kebangsaan dengan lantang. Hari itu adalah peringatan Hari Pancasila. Para pemimpin berbicara dengan penuh semangat tentang pentingnya Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Warga yang hadir ikut berjanji untuk mengamalkan nilai-nilainya: keadilan, persatuan, kemanusiaan.

Namun, setelah acara usai, hiruk-pikuk jalanan kembali seperti biasa. Seolah semua pidato dan janji itu hanya berhenti di udara. Di pasar, seorang pedagang wanita terpaksa menurunkan harga dagangannya, meski ia tahu itu merugikan dirinya. Seorang pembeli terus menawar dengan harga yang sangat rendah, meskipun ia tahu bahwa harga yang ditawarkan sudah wajar. Wanita itu hanya bisa menerima tawaran tersebut, meski merasa tidak diperlakukan adil, karena ia tahu jika menolak, ia bisa kehilangan pembeli.

Di sebuah jalan utama kota, seorang pengemudi angkutan umum bertengkar dengan sopir ojek daring. Pertengkaran itu berawal dari perebutan penumpang. Tak ada dialog, tak ada kompromi. Keduanya saling menghardik, bahkan nyaris baku hantam. Tak ada yang melerai. Orang-orang di sekitar hanya menonton sambil merekam kejadian dengan ponsel mereka.

Di sebuah kantor, seorang karyawan perempuan baru saja pulang larut setelah bekerja lembur tanpa bayaran tambahan. Esok harinya, ia mengetahui bahwa rekan kerjanya yang kurang produktif justru mendapatkan bonus karena memiliki hubungan dekat dengan atasan. Sementara itu, pekerja keras seperti dirinya hanya mendapat ucapan "terima kasih."

Kisah-kisah ini adalah gambaran dari realitas sehari-hari yang sering kita lihat. Di negeri yang katanya menjunjung tinggi Pancasila, nilai-nilai luhur itu seolah hanya jadi hiasan di dinding. Mereka ada dalam pidato dan upacara, tetapi jarang kita temui dalam tindakan nyata.

Pancasila: Ketika Simbol Kehormatan Kehilangan Jiwa

Pancasila sering kita hormati dengan khidmat dalam upacara, diabadikan dalam patung-patung megah, dan diucapkan dengan lantang dalam pidato-pidato resmi. Tetapi, apa arti semua itu jika nilai-nilainya tidak kita wujudkan dalam kehidupan sehari-hari? Ketika Pancasila hanya berhenti sebagai simbol, kita telah mengkhianati jiwa dari dasar negara kita sendiri.

Lihatlah seorang pedagang wanita yang terpaksa menurunkan harga dagangannya meski itu merugikan dirinya. Ketidakadilan ini mencerminkan sebuah realitas yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, di mana yang kuat sering kali memanfaatkan posisi mereka untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, sementara yang lemah harus menyerah demi bertahan. Seperti halnya dalam Pancasila, yang menjunjung tinggi keadilan sosial, namun dalam praktiknya, nilai-nilai tersebut seringkali terabaikan.

Di jalanan, pertengkaran antara pengemudi angkutan umum dan ojek daring mencerminkan bagaimana kita telah melupakan semangat "Persatuan Indonesia." Perbedaan yang seharusnya menjadi kekuatan malah menjadi pemicu konflik. Tak ada dialog, tak ada upaya untuk memahami. Kita memilih jalan egoisme, meninggalkan nilai persatuan di belakang.

Sementara itu, di kantor-kantor, pegawai yang bekerja keras dan jujur merasa terpinggirkan. Nepotisme dan hubungan pribadi lebih dihargai daripada kompetensi. Sila kedua, "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab," telah digantikan oleh praktik yang tidak bermoral. Kita menyaksikan dengan pasrah, seolah ketidakadilan itu adalah bagian dari takdir.

Ketika Pancasila Hanya Berhenti di Bibir

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun