Mohon tunggu...
M. Taufiqurrahman
M. Taufiqurrahman Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Mahasiswa Doktor Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Ganesha

Menulis dan meneliti

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan dalam bayang-bayang kekuasaan : Siapa yang diuntungkan?

29 November 2024   19:30 Diperbarui: 29 November 2024   20:03 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto praktikum IPA (Sumber: PMI Dea Malela).

Pendidikan sering kali menjadi pondasi utama untuk membangun bangsa yang kuat. Namun kenyataannya di lapangan menunjukkan, situasi yang lebih kompleks, dinamis dan penuh tantangan. Bahkan, pendidikan sering digunakan sebagai alat untuk melayani kepentingan kekuasaan, termasuk untuk mempertahankan dominasi politik dan menjaga keadaan saat ini (status quo). Akibatnya, hal seperti ini memperlebar ketimpangan social ditengah masyarakat. Dibalik tujuan luhur Pendidikan, muncul sebuah pertanyaan mendasar: Siapa sebenarnya yang akan diuntungkan oleh sistem seperti ini?.

Pada dasarnya Pendidikan dirancang guna memberikan akses yang merata, meningkatkan kualitas pembelajaran, dan menciptakan keadilan sosial. Namun realitanya Pendidikan kerap menjadi permainan politik, dimana kepentingan individu atau kelompok tertentu lebih diprioritaskan dibandingkan kebutuhan umum masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, pengelolaan anggaran Pendidikan yang tidak begitu maksimal memperparah  ketimpangan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Akibatnya Pendidikan kehilangan perannya sebagai instrument pemberdayaan masyarakat, dan justru berubah menjadi alat untuk memperkuat hegemoni politik, yang pada akhirnya merugikan generasi penerus bangsa. Dalam konteks seperti ini, sistem Pendidikan kehilangan esensinya sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang diamanatkan pada pembukaan UUD 1945, melainkan lebih sering digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Dampak buruknya tidak hanya akan terlihat pada kualitas luaran pendidikan yang dihasilkan, tetapi juga pada struktur sosial yang semakin timpang. Oleh karena itu, perubahan mendesak diperlukan agar Pendidikan benar-benar berfungsi sebagai alat pemerataan sosial bukan sebagai alat dominasi politik.

Dengan perannya yang sangat strategis, Pendidikan rentan menjadi kepentingan politik, terutama menjelang pemilu. Isu pendidikan kerap menjadi janji kampanye, seperti pembangunan sekolah, perbaikan fasilitas Pendidikan, ataupun pemberian beasiswa. Janji-janji seperti ini biasanya di dilontarkan sebagai strategi untuk menarik simpati masyarakat. Sayangnya implementasi sering jauh dari harapan. Setelah pemilu usai dan kandidat terpilih, janji-janji tersebut cenderung dilupakan dan hanya Sebagian kecil saja yang direalisasikan. Sebagai contoh sekolah yang awalnya dijanjikan akan dibangun tidak dilengkapi dengan fasilitas yang memadai. Sehingga keberadaan sekolah baru ini tidak membawa perubahan yang signifikan bagi masyarakat sekitar. Hal serupa juga terjadi pada program beasiswa. Beasiswa tidak disalurkan secara merata, kurang transparan, dan terkadang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu yang berkontribusi dalam kesuksesan politik. Contoh alokasi dana Program Pokok Pikiran (POKIR) yang hanya menyasar kepada kerabat tim pemenangan, sementara anak-anak yang benar benar pantas dari segi akademik (berprestasi) ataupun anak yang benar-benar membutuhkan bantuan justru tidak tersentuh oleh program tersebut.

Kegagalan dalam merealisasikan janji politik semacam ini tidak hanya mengecewakan masyarakat. Tetapi juga merusak citra Pendidikan yang seharusnya menjadi penggerak utama perubahan sosial. Pendidikan, yang idealnya digunakan untuk memberdayakan masyarakat malah digunakan sebagai alat politik jangka pendek untuk mendapat kekuasaan. Salain itu, janji yang tidak dapat ditepati tersebut menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan system pendidikan. Akibatnya, Sikap apatis masyarakat terhadap program Pendidikan semakin meningkat. Kondisi seperti ini otomatis menjadi tantangan yang serius bagi pemerintah kedepannya dalam memajukan Pendidikan. Karena selain dukungan dalam bentuk finansial, Pendidikan membutuhkan dukungan atau partisipasi aktif masyarakat agar program-program yang disiapkan dapat berjalan secara efektif.

Masalah lain yang sering muncul adalah Yayasan Pendidikan milik pihak tertentu yang kerap menerima bantuan dari pemerinta secara berlebihan. Hal ini menciptakan ketimpangan dalam distribusi sumber daya Pendidikan. Lembaga Pendidikan dibawah naugan kekuasaan cenderung mendapatkan alokasi dana lebih besar dibandingkan dengan sekolah-sekolah didaerah pelosok yang notabanenya sangat membutuhkan. Ketimpangan ini akan berdampak pada ketidak merataan mutu Pendidikan didaerah. Sekolah yang selalu dibayang-bayangi kekuasaan cenderung memiliki fasilitas yang lengkap dan memadai, serta memiliki akses terhadap beasiswa pemerintah. Sebaliknya, sekolah yang tidak memiliki kedekatan dengan kekuasaan akan terus berada dalam keterbatasan seperti minimnya fasilitas, ruang kelas yang terbatas, hingga kurangnya ketersediaan buku dan bahan pembelajaran lainnya. Perbedaan yang mencolok ini akan semakin memperburuk keadaan dan memperlebar kesenjangan sosial, dan mempengaruhi masa depan siswa. Dimana anak yang bersekolah di Lembaga yang diuntungkan oleh kekuasaan memiliki peluang yang lebih besar untuk sukses. Berbeda dengan anak yang sekolah dipelosok akan tetap terjebak dalam keadaan Pendidikan yang serba terbatas, beresiko tetap berada dalam ketertinggalan dan kemiskinan.

Melihat realitas seperti ini, jelas bahwa sistem ini cenderung hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Padahal, pendidikan yang seharusnya dirancang untuk menciptakan kesetaraan untuk meningkatkan kesejahteraan justru membuat kelompok marjinal akan terus terpinggirkan. Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan kebijakan distribusi bantuan pendidikan yang lebih transparan dan akuntabel. Pemerintah perlu memastikan bahwa alokasi anggaran dan sumber daya pendidikan didistribusikan secara merata sesuai dengan kebutuhan riil di setiap daerah, bukan atas dasar hubungan politik dan kedekatan dengan pejabat. Selain itu, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan distribusi juga perlu dilibatkan dalam proses pengawasan distribusi bantuan pendidikan untuk menciptakan system yang lebih adil dan bebas dari praktik-praktik nepotisme atau penyalahgunaan kekuasaan.

Penulis : M. Taufiqurrahman (Mahasiswa Doktor Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Ganesha)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun