Di Indonesia, pergantian sistem evaluasi pendidikan, khususnya pada tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah, telah menjadi fenomena yang sering terjadi setiap kali ada perubahan kepemimpinan nasional.Â
Salah satu aspek yang paling berpengaruh dalam sistem pendidikan adalah cara kita mengukur kelulusan siswa, yang kerap mengalami perubahan kebijakan.
Pada tahun 2020, Ujian Nasional (UN) yang telah lama menjadi standar kelulusan siswa dihapuskan, digantikan oleh Asesmen Nasional (AN) pada tahun 2021. Program AN ini dirancang sebagai bagian dari program "Merdeka Belajar," inisiatif unggulan Menteri Pendidikan saat itu, Nadiem Makarim, yang bertujuan mengukur kompetensi dasar siswa dalam literasi, numerasi, dan karakter, alih-alih hanya kemampuan hafalan.Â
Sistem ini juga mencakup Survei Karakter, dengan harapan memperbaiki mutu pendidikan melalui pemahaman terhadap potensi siswa secara lebih mendalam dan humanis.
Namun, seiring pergantian kepemimpinan nasional, muncul wacana untuk menghidupkan kembali Ujian Nasional sebagai standar evaluasi pendidikan dasar dan menengah. Menteri Pendidikan baru, Prof. Abdul Mu'ti, berencana mempertimbangkan kembali UN sebagai alat ukur utama yang dapat menunjukkan pencapaian akademik siswa secara merata.Â
Pendekatan ini menuai perdebatan di kalangan masyarakat dan pemerhati pendidikan: apakah UN masih relevan untuk mengukur kualitas kecerdasan generasi penerus?
Sebagai seseorang yang merasakan manfaat UN di masa lalu, saya pribadi mendukung gagasan ini. Ketika dulu kami diharuskan memahami peta Indonesia, matematika, dan aspek pengetahuan lainnya, kami terbiasa dengan pola belajar yang lebih ketat.Â
Di tempat saya bekerja saat ini, saya menemui generasi muda yang kerap kali kurang memahami pengetahuan dasar geografis negara sendiri, misalnya, letak provinsi dan ibukotanya. Ini menunjukkan adanya penurunan standar pemahaman dasar yang dulu menjadi bagian dari pendidikan kami.
Ujian Nasional, bila diimplementasikan dengan tepat dan tidak hanya berfokus pada hafalan, berpotensi menjadi pendorong semangat belajar siswa. Sama halnya dalam seleksi calon Pegawai Negeri Sipil (PNS), terdapat standar kompetensi yang harus dipenuhi calon pelamar, termasuk Tes Intelijen Umum, Tes Wawasan Kebangsaan, dan Tes Kepribadian.Â
Jika sistem evaluasi pendidikan menyiapkan siswa dengan kompetensi yang tepat, mereka dapat memasuki dunia kerja dengan bekal yang memadai, yang dapat disesuaikan dengan sedikit pembinaan lebih lanjut untuk menjadi sumber daya manusia unggul.
Di dunia kerja, tentu teori yang diperoleh di bangku sekolah kerap kali membutuhkan penyesuaian dengan praktik lapangan. Namun, memiliki dasar yang kuat adalah modal awal yang sangat berharga.Â