Suatu hari, seorang guru menanyakan cita-cita kepada murid laki-laki dan perempuan. Ketika pertanyaan tersebut sampai kepada Betty, guru tersebut pun menanyakan hal yang sama. "Apa cita-citamu Betty," tanya guru pada siswi yang duduk itu. Lalu Betty menjawab, "Saya ingin jadi guru bu, kaya, punya banyak asisten, dan segala macam," jawab murid perempuan tersebut dengan nada yang cukup lantang.
Selanjutnya, sang guru juga bertanya dengan pertanyaan yang sama kepada murid laki-laki. Sebut saja Aldo. Jawaban Aldo malah tidak diduga sebelumnya, "Saya ingin jadi suami Betty saja bu, kan dia sudah kaya." Seluruh murid-murid dalam kelas tersebut tertawa.
Anekdot ini sering kita dengar sebagai kritik kepada perempuan yang masih terbelenggu dengan budaya patriarki yang membentuk pemikiran perempuan sendiri. Kisah ini menjadi sangat familier di kalangan feminis dengan tokohnya Betty Friedan, tokoh feminis yang hidup pada abad-19 dengan pemikiran-pemikiran yang revolusioner yang dimiliki. Melalui anekdot tersebut, terlihat betapa jelas perbedaan perempuan dan laki-laki ketika ia kecil dan nanti saat ia tumbuh dewasa.
Perempuan, pada masa kecilnya, memiliki banyak sekali cita-cita yang tinggi. Namun, cita-cita tersebut akhirnya lumpuh dan gugur setelah beranjak dewasa. Perempuan lebih memilih di rumah saja setelah menikah.
Betty melihat berbagai fenomena yang terjadi pada perempuan banyak yang tidak masuk akal. Pemikiran patriarki yang terus memenjarakan perempuan membuat perempuan merasa bahwa ia sedang baik-baik saja dalam lingkungannya.
Berbagai kegelisahan yang diungkapkan oleh Betty nampaknya cukup relevan ketika dihadapkan dengan persoalan masa kini. Bagaimana perempuan memosisikan dirinya sebagai perempuan yang utuh? Apa impian terbesar ketika kita menjadi seorang perempuan? Masih banyak di antara mereka yang kini--dan mungkin dulu-bermimpi memiliki suami kaya, lalu menjadi ibu rumah tangga dan menikmati kekayaan suami.
Tiga Hal Melekat ke Perempuan
Ada tiga hal yang sering kali dianggap sebagai hidup perempuan: hati, rumah, dan pasangan. Ketiga hal tersebut lalu mengerucut menjadi tempat perempuan yang dikenal dengan ranah domestik. Perempuan dituntut untuk memberikan seluruh perhatiannya kepada keluarga, rumah, dan suami yang menjadi pencari nafkah satu-satunya.
Pemikiran semacam ini yang kemudian mengakibatkan beberapa pandangan perempuan yang akhirnya mencari dan memilih laki-laki yang ideal atau minimal suami yang kaya agar, hidupnya terjamin dan tidak pernah sengsara.
Walaupun begitu, ada persoalan yang perlu diketengahkan di sini. Bisakah perempuan menjadi manusia yang mandiri? Jawabnya, bisa. Perempuan bisa mencari uang sendiri dan bisa mengekspresikan kemampuan yang ia miliki.