Mohon tunggu...
Azis Tri Budianto
Azis Tri Budianto Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa | Penulis | Filsuf
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dalam hidup kita hanya sebagai pemain, jadilah pemain yang menjalankan perannya dengan baik. _sing biasa bae

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menuju Ikhlas: Kadang Berat, namun Harus dicoba

28 Februari 2023   23:40 Diperbarui: 28 Februari 2023   23:44 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agak berat, mengingat peradaban hari ini "seakan" dibangun di atas pondasi pamer, sedangkan ikhlas menuntut laku sebaliknya.

Bila pamer menghendaki dokumentasi kedirian sebagai jalan utama, maka ikhlas mengidealkan ketersembunyian sebagai keadaan terbaik. Pandangan ini sejalan dengan Ibn Atha'ilah as-Sakandariyah yang memandang bahwa jalan menjaga keikhlasan adalah khumul (menyembunyikan diri).

Ibn Atha'ilah menjelaskan, "Sembunyikan wujudmu pada tanah yang tidak dikenal, sebab sesuatu yang tumbuh dari biji yang tidak ditanam tidak akan berbuah sempurna."

Mencermati penjelasan Ibn Atha'ilah, maka khumul (ketersembunyian) bukan untuk dimaknai mengubur eksistensi diri, melainkan lebih tepat ditafsirkan sebagai upaya menyuburkan potensi diri. Tidak perlu memamerkan berbagai capaian diri (laku FoMO), cukup dengan menjalani kehidupan dan mengasah potensi diri sebaik mungkin (menuju kadaan ikhlas). Jika sesuatu dilakukan dengan ikhlas dan istiqamah, maka akan tiba masanya Tuhan mendatangkan reward (anugerah) untuk itu.

Menuju ikhlas bukan berarti tidak memanfaatkan atau menyia-nyiakan potensi diri dengan alasan tidak ingin pamer. Ketersembunyian diri menuju ikhlas bukan untuk mematikan potensi diri, melainkan untuk beroposisi dengan laku riya.

Kita perlu mencontoh Imam Syafi'i yang menulis banyak kitab, tetapi dan bukan riya, pujian, dan ketenaran yang malah menjadi memenjarakan diri. Sehingga, tidak perlu orang harus menyanjung atau menyebut-nyebut nama, yang terpenting adalah ilmu bermanfaat untuk umat manusia.

Sebagaimana Ali bin Abi Thalib menjelaskan, ciri riya itu ada empat, yaitu malas jika sendiri, rajin jika banyak orang, semakin rajin jika dipuji, dan menjadi malas jika dicela. Maka, laku menuju ikhlas adalah untuk mengoposisikan diri dari keempat keadaan itu, menjadi orang yang tetap semangat melakukan kebaikan tanpa perlu menimbang keramaian maupun kesunyian, dan tidak goyah akan pujian maupun celaan.

Terakhir, sebuah pertanyaan untuk memuhasabahkan diri kita, sudah sejauh mana kita menuju ikhlas? Ah, entahlah, saya juga masih bingung, apa tulisan ini dilatari semangat untuk berkarya atau malah semangat untuk memamerkan kedirian. Entahlah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun