Mengetahui bahwa Anda tidak tahu adalah yang terbaik. Berpura-pura tahu ketika Anda tidak tahu adalah penyakit ---Lao Tzu---
Membaca berita online dan deretan komentar sesudahnya, merenungkani ajakan berbagi "kebenaran-kebaikan" di Facebook, Twitter, WhatsApp, Instagram, menggelisahi konflik-konflik antar kepentingan dan idola dengan argumen 'pokoknya', menertawai kekonyolan-kekonyolan logis-etis-estetis yang dipampangkan oleh para manusia pandai hari ini, saya kembali pada kata favorit yang pernah kutulis juga sebelumnya: 'sok tahu'.
Manusia hari ini terasa begitu nggaya dan kemaki seakan jangkauan wawasannya bisa menembus tidak hanya wilayah-wilayah jauh tak terjamah manusia, namun juga wilayah-wilayah dalam yang tak mungkin disentuh oleh perangkat apapun yang dimilikinya hari ini, seperti suara hati atau bunyi pikiran orang lain, keinginan seluruh rakyat, kehendak Tuhan, kemurkaan ataukah 'kepedulian' Tuhan, kepastian kebaikan A atau kepastian jeleknya B, keniscayaan surga, kondisi auto-neraka , dan lain sebagainya.
Kehadiran orang-orang 'sok tahu' ini membawa implikasi besar dalam konstruksi dan hubungan sosial-budaya-politik hari ini. Kekacauan berpikir, konflik fungsi dan relasi, ketidakjelasan nuansa informasi (kebenaran, konteks, sumber, aplikasi atau implisit) seringkali merupakan akibat dari kehadiran orang-orang 'sok tahu' ini.
Menarik membaca penelitian dua profesor psikologi sosial Amerika, David Dunning dan Justin Kruger, bahwa orang-orang dengan kemampuan berpikir rendah seringkali berperilaku sok tahu. Karena mereka merasa memiliki kompetensi dan pengetahuan serta tidak sadar bahwa banyak hal di luar kemampuan mereka. Sebaliknya, individu dengan kemampuan berpikir tinggi lebih sering tidak menganggap kemampuan tinggi itu sendiri karena menyadari keterbatasan otak mereka. Lebih jauh profesor David Dunning menyimpulkan berdasarkan penelitiannya bahwa kebanyakan orang menjadi 'sok tahu' karena ingin berada pada posisi yang nyaman, atau ingin menegaskan status dan identitas mereka.
Entah kenapa tiba-tiba aku merasa tertarik untuk membaca lagi makhluk menggelikan bernama 'sok tahu' ini dengan perspektif yang berbeda: maqamat dan ahwal . Konsep maqamat dan ahwal ini dapat Kita menemukan konsep maqamat dan ahwal dalam uraian para sufi, yang menjelaskan tahapan yang harus dilalui oleh seorang musafir atau yang sedang melakukan perjalananan menuju-Nya (salik) Dalam menempuh spiritual di jalan Tuhan (suluk).
Sungguh mengagumkan kepandaian para ulama sufi, yang menjabarkan dengan sangat rinci perjalanan ruhani seorang hamba kepada Tuhannya, antara lain dengan mengkategorikan maqam-maqam yang harus dilalui dalam teori. Jiwa disebut hal (jamak: Ahwal)
Maqamat diupayakan oleh si salik, dan ahwal merupakan anugrah dari Allah. Maqamat itu tahapan perjalanan yang harus ditempuh, misalnya mulai dari taubat , lalu zuhud , faqr , sabar , syukur , rida , dan tawakal . Sementara dalam perjalanan berat menelusuri maqamat itu, seorang salik dimungkinkan mendapat anugrah ahwal dari Allah, misalnya khauf (ketakutan), raja' (harapan), syauq (kerinduan), atau mahabbah (cinta).
Meski berasal dari ranah tasawuf, konsep maqamat dan ahwal ini sebenarnya sangat logis dan dapat digunakan sebagai kerangka teori untuk berbagai fenomena manusia dan dunianya serta dapat diterapkan untuk banyak ranah kehidupan, termasuk ilmu dunia, pengetahuan, dan filsafat. Misalnya dalam bidang pendidikan, belajar, membaca atau menulis adalah ikhtiar (maqam), sedangkan memahami, mencerahkan, menjiwai, dsb. Adalah hadiah (hal).
Selain dapat digunakan untuk membaca perjalanan spiritual 'penuh cahaya', logika maqamat dan ahwal ini juga dapat digunakan untuk membaca fenomena-fenomena kemunduran hidup atau bayangan. Jika kita mengikuti jalan "gelap" (maqam), maka kita akan tersesat (hal). Jika kita menempuh rute "kecurangan" (maqam), maka kita mendapatkan "kegelisahan/kecemasan" (hal).