Pandangan Islam sebagai ilmu dan Iqra (Bacaan) sebagai seni memaknainya kemudian melahirkan ketegangan kreatif, yaitu hadirnya inovasi-inovasi kreatif baru yang dapat meningkatkan pengetahuan dan peradaban dunia Islam yang tinggi. Untuk itu, marilah kita coba meragukan diri kita sendiri sebelum orang lain, bahwa barangkali apa yang kita anggap benar dan benar itu buatan kita sendiri, dan tidak memiliki arti hakiki. Memang, makna sebuah teks selalu ditentukan oleh makna yang melekat padanya oleh seorang penafsir.
Asumsi dasar - dalam konteks hermeneutika - bahwa manusia adalah makhluk yang dapat menjelaskan dirinya sendiri. Diri (manusia) dibentuk oleh sejarah dan bahasa. Diri (manusia) juga bersifat dialog/dialektis. Dunia tempat kita hidup juga merupakan struktur mental yang kita bentuk sendiri dengan pandangan subjektif kita. Dan pemahaman kita tentang dunia, penerimaan kita akan maknanya ditentukan oleh pengalaman hidup yang kita miliki.
Iqra (membaca) sebagai seni memahami, akan menghindari perasaan lebih adil dari orang lain yang berbeda pendapat dengan kita. Untuk mencapainya, jangan hanya menganalisis makna asli yang terkandung dalam teks atau nada dialog (tingkat literal), tetapi cobalah membacanya untuk memisahkan makna dari konteks sosio-historis saat teks dibuat (tingkat budaya-sejarah). ) dan dipahami sebagai "kombinasi" antara penulis dan pembaca - perpaduan cakrawala - (tingkat eksistensial).
Referensi:
F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik Dari Schleiermacher Sampai Derrida (Yogyakarta: Kanisius, 2018).
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, Dan Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007).
Otto Sukatno. Politik Identitas: Kesaktian dan Identitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018.
Philip K. Hitti. History Of The Arabs (Jakarta: Serambi, 2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H