Sebagai wahyu pertama yang diberikan kepada Muhammad oleh malaikat Jibril, perintah "Iqra" (membaca) dipenuhi dengan ketakutan, keraguan dan harapan akan kebenaran sebagai awal dari dakwah Nabi. Hati Nabi sekali lagi diselimuti rasa takut yang besar, dan sampai merasakan beban emosi yang sangat berat, Nabi pulang ke rumah dengan rasa gentar dan meminta istrinya untuk menyelimutinya. Lalu turunlah perintah yang kedua dalam QS. Al-Muddassir Ayat 1, yang artinya : "Hai orang yang berkemul (berselimut)".
Cerita lain datang dari nusantara, yaitu cerita pertengkaran yang melibatkan keris antara Sutowijaya dan Arya Penangsang. Pada akhirnya Arya Panangsang gugur di medan perang akibat kerisnya sendiri akibat kebingungan dan ketidakpekaan menerima/membaca isyarat (makna) dari pembimbingnya (Sunan Kudus) saat mereka masih berdiplomasi dengan Sutowijoyo yang kemudian dikenal dalam sejarah. Sebagai pendiri Kesultanan (Islam) Mataram II
Dari dua cerita di atas, kita bisa melihat siapa yang bisa memahami maknanya dan siapa yang tidak. Kondisinya sama saat ini, banyak orang mengaku mengerti Islam tapi tidak membaca artinya secara utuh. Akibatnya, ketika ada orang yang tidak setuju dengannya, mereka dianggap kafir, sesat, radikal, fanatik, dll. Padahal, Syariat Islam bukan hanya iman dan Islam, tetapi juga memiliki kebaikan.
Dapat dikatakan bahwa "masalah" dalam memahami teks-teks Islam masa lalu adalah makna kata "Iqra" dalam surat Al-Alaq dan dikaitkan dengan kondisi Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu pada saat itu. , yang gemetar dan merasa tidak enak, beliau meminta istrinya untuk menutupinya.
Untuk memahami makna teks kita dapat menggunakan hermeneutika Paul Ricoeur. Dia adalah filsuf Prancis yang paling tidak kontroversial dan sok dibandingkan dengan pemikir Prancis lainnya yang cenderung provokatif dan radikal. Ricoeur lahir pada 27 Februari 1913 di kota Velence, selatan Lyon, Prancis. Latar belakang pemikirannya adalah keserempakan antara interpretasi kehidupan dan refleksi kehidupan, hermeneutika dan makna hidup.
Menurut Kuntowijoyo, untuk memahami Islam sebagai ilmu harus memiliki ciri-ciri Islam, yaitu humanization (pemanusiaan manusia), liberation (membebaskan manusia dari ketertindasan) dan transendensi Viet (membawa manusia kepada Tuhan). Pemahaman Islam ini dapat dicapai jika umat Islam dapat membaca (Iqra) sebagai seni untuk memahami.
Upaya mengungkap maksud di balik teks, merupakan tugas utama Iqra (Membaca). Menetapkan personifikasi sebagai amar ma'ruf, pembebasan sebagai nahi munkar dan transendental sebagai tu'minunah billah yang bersumber dari QS Al-Imran[3]: 110. Ketiga kandungan tersebut merupakan salah satu dari tiga risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah (Rasulullah) kepada umat manusia, khususnya kepada bangsa Arab yang pada saat itu masih penuh dengan kebodohan.
Makna hermeneutik Paul Ricoeur tentang kata "Iqra" (membaca) sebagai seni pemahaman artinya kita hubungkan dengan makna hidup sedapat mungkin dan hubungkan teks (Al-Quran) dengan makna hidup, dan lakukan itu. Dengan refleksi. Teks itu tidak hanya bermakna dalam dirinya sendiri: Itu juga mengacu pada makna di luar dirinya, yaitu kehidupan kita dan dunia.[5] Jadi tugas iqra tidak hanya memahami makna teks, tetapi juga memahami kehidupan dan dunia.
Misalnya, dalam kehidupan sehari-hari, semua yang dipahami manusia adalah simbol, dan tugas kita adalah membaca simbol-simbol itu. Pohon misalnya, karena sebagian orang memahami bahwa pohon merupakan sumber oksigen yang penting bagi manusia. Sedangkan bagi yang lain, pohon dipahami sebagai bahan pembuatan rumah saka. Artinya pohon itu tidak pernah benar, pohon itu selalu memiliki makna yang melekat padanya oleh mereka yang membaca/memahaminya.
Ada dua hal yang perlu kita pahami di sini, yaitu percaya untuk memahami artinya percaya adalah praanggapan pemahaman dan memahami untuk percaya adalah penjelasan yang membantu manusia modern untuk beriman. Praanggapan berasal dari kata bahasa Inggris "pre-suppos" yang berarti praanggapan/laporan sementara.