[caption id="attachment_76724" align="aligncenter" width="320" caption="Edwige Fenech, give the sweetest smile for The Kompasianer !"][/caption] Meski waktu itu ( 1980-1985 ) kami tinggal di Payakumbuh, sebuah kota kabupaten di Sumatra Barat, tapi keluarga kamijuga berlangganan Kompas. Berhubung kota ini jaraknya 2 – 3 jam dari Padang, Kompas datangnya sore, paling cepat jam 2 siang.
Mulai saat itu, banyak sudah informasi yang saya baca dengan lahap. Sebagai anak kelas IV SD kala itu, rubrik yang paling disenangi tentu saja TTS nya. Teka Teki Silang Kompas memancing saya untuk rajin membaca dan menambah daya ingat.
Saya juga suka baca komik Garth, meski sebenarnya ini komik dewasa. Garth adalah seorang agen rahasia Inggris berpostur tinggi besar namun cerdas. Garth tidak terjebak dengan kecantikan wanita bernama La Passionelle yang ternyata penjahat kakap.
Beranjak kelas V, diam-diam saya sering buka halaman Kompas yang berisi iklan film dari bioskop-bioskop di Jakarta. Maklum, di jaman itu bioskop memegang peran di dunia hiburan. Seru juga, meski saat itu anak baru gede belum boleh masuk bioskop, cukuplah liat iklan filmnya saja. Apalagi iklan film-film yang dibintangi Edwige Fenech, meski iklannya tidak vulgar, namun cukup menggoda iman.
Ada juga yang lucu dan aneh perihal Kompas kala itu. Yang lucu, ini maaf ya, bukannya saya mau bongkar rahasia. Waktu saya sering mengikuti acara Cepat Tepat tingkat SLTP di TVRI, ada dalam satu sesi, hampir semua pertanyaan berasal dari beberapa rubrik di Kompas Minggu (salah satunya prihal manfaat kopi ). Soalnya, pembawa acaranya sendiri yang bongkar rahasia, Bapak T. Aryono, yang menyatakan “kalau Anda baca Kompas Minggu kemarin, maka pertanyaan-pertanyaan tadi akan terjawab dengam mudah”. Ah, ternyata Kompas nakal pintar juga ya, bisa nyusup ke TVRI. Yang aneh, rubrik yang telah ada, yakni yang diasuh JS Badoedoe mengenai belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar, sempat dihilangkenkan bertahun-tahun. Saya tak tahu apa sebabnya.
Cukup banyak halaman-halaman Kompas tempo dulu yang masih terindeks dalam benak saya. Sayang, otak saya tak dapat menyimpan data sebanyak yang disimpan Mbah Google. Mulai dari seluk beluk filateli, sejarah Pos, kisah Kasparov yang tangannya membiru akibat stres dan kelelahan dalam pertarungan panjang merebut Juara Dunia Catur dari Karpov, kebahagiaan umat manusia dengan kemenangan Kasparov vs Deep Blue( super komputer rancangan IBM ), kesedihan umat manusia dengan kalahnya Kasparov beberapa waktu kemudian, kisah Musashi yang inspiratif ,cerbung Kane dan Abel yang dramatis dan tragis, Opini yang menawarkan pemikiran dan sudut pandang berbeda, kartun Oom Pasikom oleh GM Sudarta yang lucu tapi kritis, Panji Koming dan Pailul yang usil, Asal Usul Mahbub Djunaidi yang berani dan humoris, kisah cinta Princess Caroline ( Monaco )-Guillermo Vilas ( petenis muda Argentina ), detik-detik kepergian Buya Hamka, Ras Siregar yang tak henti mengajak orang bermain bridge, senyum Pak Harto menghiasi headline, kasus Sengkon dan Karta, penembakan Paus Paulus II, tiap hari adaa aja foto dan tulisan mengenai perjuangan Yasser Arafat dan PLO nya, tendangan pinalti Pele Putih-Zico tanpa ancang-ancang,kemarahan wartawan Inggris terhadap Gol Tangan Tuhan Maradona, ohh....ngos-ngosan nehh...Pokoknya gitu dehh. Kompas telah puluhan tahun mengisi hidup saya.
Wajar dong kalo saat ini saya berupaya mengisi Kompas, meski adeknya duluan – Kompasiana, betapa bahagianya. Tahun 1995, saat saya menonton pertandingan tinju di stadion Wergu Wetan Kudus, Jawa Tengah, Oloan Sitompul (alm) sang MC legendaris, membuka acara dengan ungkapannya yang terkenal : “ Mari kita saling isi mengisi”. Nah, lo.
Baca juga : Ariel, Gayus dan Pengacara Muda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H