Dimakan, bapak mati. Tidak dimakan ibu mati. Begitulah dilema yang dihadapi oleh orang yang menerima buah simalakama. Jadi bagaimana? Ya dijual saja. Beres. Hal ini mungkin saja terkait dengan pameo yang melekat pada orang Minangkabau. Terhimpit di atas, terkurung di luar. Dalam berbagai kondisi, aksi ambil untung solusinya. Sampai-sampai buah simalakama yang mengandung konotasi 'musibah' itu ikut dijual.
Setelah 18 tahun berada di luar Sumatra Barat, awal 2012 ini saya kembali berdomisili di kampung halaman. Bukan apa-apa, tapi memang ditugaskan kembali di sini. Di kota Padang. Kota yang pernah porak poranda dihantam gempa besar di tahun 2009. Gempa yang juga memporakporandakan sendi-sendi perekonomian, namun perekonomiannya mampu pulih dan berkembang pesat.
Gempa besar itu juga membuat kota Padang tercerai berai. Maksudnya, terbagi bagi dalam wilayah pelangi. Merah, kuning, hijau. Jalur merah paling dekat dengan laut, artinya dekat dengan tsunami. Dekat dengan tsunami artinya dekat dengan kematian. Ini ciri pertama dari buah simalakama. Begitu logikanya. Syukurlah untuk sementara sayal tingga di jalur kuning. Padahah 2o tahun lamanya tinggal di jalur merah dulunya, tak terjadi apa-apa.
Ada niat mau beli rumah di kota ini. Tapi apa daya, perumahan yang dibangun pengembang di jalur hijau (dekat dengan Bukit Barisan, 15-20 km dari bibir pantai) harganya sudah meroket. Hampir stengah milyar. Hampir sama dengan harga-harga rumah yang diiklankan di TV Swasta (lokasi Jakarta). Hampir sama harganya dengan rumah-rumah yang dijual di pusat kota Batam (Permata Baloi) yang beberapa meter saja jaraknya dari segitiga emas Nagoya- Jodoh- Baloi. Alasannya juga dekat dengan pusat kota yang rencananya akan dibangun di Timur kota. Di sekitar Padang New City inipun harga-harga sudah membubung. Mmm...benar-benar buah simalakama. Kenaikan harga BBM hampir tak ada artinya...
Akan halnya jalur merah, ternyata kaum pebisnis ambil untung di lokasi psikologis itu. Pemain lama makin mempercantik tempat usaha. Hotel berbintang dibangun di tepi pantai oleh pemain baru. Tempat wisata air dan kuliner makin menjamur. Tak ada itu tsunami. Bisnis jalan terus. Demikian barangkali di pikiran kaum pebisnis. Jalan raya dari Jembatan Siti Nurbaya langsung ke Bandara Minangkabau terus digesa. Aneh. Apakah karena tanah yang murah yang dijual oleh orang-orang yang takut berumah di tepi pantai? Buah simalakama yang dibeli murah, dijual mahal. Mantap!!
Begitulah kaum pebisnis. Mereka mampu melihat celah menggiurkan dari sebuah musibah sekalipun. Merekalah orang-orang yang sukses menjual buah simalakama. Dengan keuntungan berlipat yang melebihi persentase kenaikan harga BBM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H