Mohon tunggu...
efyd
efyd Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Peminat Sastra Inggris\r\nPernah tinggal di Bandung, Kudus, Situbondo, Pekanbaru, Bintan, Batam\r\nKembali berdomisili di Padang pada awal 2012\r\nBlog pribadiku :http://belajar-mengatur-uang.blogspot.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hotman Paris dan Lapo Tuak

20 Maret 2012   04:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:43 739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski terjebak dalam sebuah diskusi meledak-ledak dengan Ruhut Sitompul dalam acara Indonesia Lawyers Club (13-3-12) yang penuh kritikan, hal ini belum mengubah kesukaan saya terhadap intelektual dan gaya bicara seorang pengacara terkenal Ibukota, yakni Hotman Paris Hutapea. Ceplas ceplos, cerdas, dan naluri sebagai pengacara pembela terlihat dari luncuran kata-katanya. Kadang membuat  tersenyum karena logatnya mengingatkan pada rekan-rekan dan tetangga yang berasal dari Sumatra Utara.

Kritikan pedas dari seorang kompasianer bernama Adjat R Sudradjat dalam posting berjudul Ruhut vs Hotman, Kocak sekaligus Bikin Muak menggambarkan bahwa Hotman terjebak dan hanyut dalam diskusi yang dinilai "tidak intelektual". Benar-benar kontroversial. Its OK. Suatu ketika siapapun dapat terjebak dalam situasi yang emosional, bahkan kita-kita dalam debat di Kompasiana pernah mengalaminya. Tulisan Adjat itu juga banyak menerima pro-kontra dari para Kompasianer.

Satu hal yang saya catat dalam postingan Sdr Adjat adalah kata "lapo tuak" pada alinea pertama. Yang menarik, saya pertama kali mendengar istilah "lapo tuak" justru berasal dari Hotman Paris sendiri. Kala itu sekitar tahun 2007, seingat saya beliau mengucapkan itu dalam sebuah tayangan gosip di sebuah TV swasta. Hotman Paris menilai tindakan keluarga korban (Gonggom) yang kurang puas dengan hukuman yang diterima terdakwa kasus pembunuhan yang dibelanya, Lidya Pratiwi, di gedung pengadilan mirip keributan di "lapo tuak".

Akan halnya situasi dan kondisi eksis di lapo tuak, saya sendiri tidak tau.. Kalo minum tuak, saya pernah. Meski tidak sampai mabuk. Cap tikus buatan Manado juga pernah. Meski lagi-lagi gak sampai mabuk Menurut teman-teman dari Manado, minuman tradisional "Cap Tikus " malah juga dikonsumsi ibu-ibu di pegunungan yang dingin ketika mulai mengerjakan tugas-tugas di kala dinihari. Sementara itu sebagai orang yang berasal dari Sumatra Barat, saya adalah penggemar berat Lamang Tapai (lemang plus tape), sejenis makanan/minuman penghangat yang menurut pakar kesehatan kandungan alkoholnya lebih tinggi dari bir. Yaaaah...

Bagusnya, untuk dapat membuktikan suasana yang sebenarnya di lapo tuak, kita mesti berkunjung ke sana. Tapi kapan ya?? Atau Anda, pembaca yang budiman, pernah duduk di Lapo Tuak?? Share donk agar tidak ada lagi kesalahpahaman seperti yang terjadi pada tulisan Sdr Adjat R. Sudrajat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun