Sebagai peserta Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka 4 Universitas Trunojoyo Madura, Kami berkesempatan untuk mengenal dan Mengulas lebih dekat tentang tradisi carok dimadura melalui film pendek yang berjudul "Carok".
Carok adalah tradisi dan budaya yang dalam masyarakat Madura berupa pertarungan menggunakan celurit untuk memulihkan harga diri yang diinjak oleh orang lain.Misalnya kasus masalah perempuan, tuduhan mencuri, perebutan warisan, pembalasan dendam. Akan tetapi pada dasarnya, kasus terjadinya carok mengacu ke akar yang sama, yaitu perasaan malu karena pelecehan harga diri.
Bagi masyarakat luar Madura, carok mungkin dianggap sebagai sesuatu yang amoral dan keji karena dapat berakhir pada luka parah hingga meninggal dunia. Orang Madura melakukan hal tersebut mungkin sesuai dengan ungkapan lebbi bagus pote tollang atembang pote mata yang artinya, "Lebih baik mati daripada hidup menanggung malu".
Carok secara historis telah dilakukan oleh sebagian masyarakat Madura sejak beberapa abad lalu secara turun-temurun. Berdasarkan dokumen dari era kolonial yang ditulis oleh dua ahli antropologi Belanda, De Jonge dan TouwenBouswma, mencatat bahwa carok mulai muncul di Madura pada abad ke-19. Dikutip dari laporan Kompas Regional, asal mula carok terkait dengan kisah seorang mandor kebun tebu di Pasuruan, Jawa Timur, yang dikenal dengan nama Pak Sakera.
"Pak Sakera, yang sebenarnya bernama Sudirman dan berdarah Madura, tinggal di Pasuruan.Ia menggunakan celurit sebagai simbol perlawanan terhadap penindasan Belanda. Ketika perusahaan Belanda berusaha mendapatkan tanah dengan cara kekerasan, Pak Sakera memberontak dan menjadi buronan pemerintah. Meskipun akhirnya ditangkap dan dieksekusi, peristiwa ini memicu masyarakat untuk menggunakan celurit dalam perlawanan terhadap penindasan. Belanda kemudian menggunakan blater untuk menekan pemberontakan, memanfaatkan celurit sebagai senjata. Meskipun dimulai sebagai simbol perlawanan, celurit kemudian disimbolkan sebagai senjata bagi jagoan dan penjahat oleh Belanda. Meskipun Belanda telah pergi dari Indonesia, tradisi carok masih diwarisi dan dilestarikan oleh sebagian masyarakat Madura".
Film tersebut mempunyai filosofi masyarakat madura mengenai lebih baik putih tulang daripada putih mata yang artinya lebih baik mati daripada hidup menanggung malu yang ditanamkan pada pria madura. Dalam film diakhiri film tidak terjadi pembunuhan dikarenakan anak tersebut lebih mempercayai imannya dibandingkan balas dendam ayah dan ibunya.
Penulis: Putri Utami, Fitriani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H