[caption caption="Sumber Foto: sinarharapan.co"][/caption]Tiga hari berpeluh kesah di jalan, tepat di depan istana kekuasaan. Tangis dan "histeris" sekitar 442 ribu guru honorer K2, tak kunjung mampu mengetuk nurani kuasa. Apa boleh buat, pulang tanpa kejelasan, justru dibuai dengan cibiran sinis, sebuah cibiran seolah ingin memaksakan kredo bahwa guru sudah seharusnya miskin. Dan demo dianggap sebagai perilaku tidak terpuji.
Nasib yang didaku “pahlawan”, dipaksa menerima imajinasi tentang kemuliaan status, di saat yang sama juga harus menerima kesialan dalam nasib. Tak hanya berusaha melawan kekuasaan yang ingkar, tapi juga harus menepis tudingan cibiran dari sebangsanya yang terjebak dalam kesalahan berpikir. Salah satunya, tulisan yang katanya dari mantan guru honorer, menganggap demo guru sebagai tindakan memalukan! (baca: Guru Demo, Memalukan! Surat Terbuka Seorang Mantan Guru Honorer). Cukup naïf bukan?.
Cibiran dan sinisme terhadap demo guru, mulai yang menganggap demo guru sebagai perilaku tidak terpuji hingga yang menganggapnya sebagai "memalukan", tak lain merupakan tuduhan-tuduhan yang sebenarnya lahir dari cara berpikir yang keliru (fallacy). Di antaranya:
Kesalahan berpikir pertama, adalah mengaggap demo guru sebagai bentuk pengemisan kepada negara. Jelas, cara berpikir ini keliru secara fatal. Kenapa?. Karena guru datang untuk menuntut hak, bukan meminta welas asih. Itu karena, relasi guru dan negara, seperti dengan relasi sipil dan kekuasaan, yakni ada hak dan kewajiban yang harus saling memenuhi. Hidup layak adalah hak semua warga negara tanpa terkecuali, tentu itu amanah bernegara yang termaktub dalam Undang-Undang 1945 Pasal 27 ayat 2.
Guru dan buruh tentunya sama dalam konteks ini, demonstrasi buruh adalah bentuk tuntutan akan hak, bukan welas asih. Ada hak yang tidak terdistribusikan dengan adil oleh pengusaha dan negara. Mengingkari pemenuhan penghidupan layak bagi warganya, sama halnya dengan mengingkari konstitusi. Apalagi konkret, kehadiran guru untuk berdemo, juga dipicu oleh janji politik yang bertebaran saat pencapresan sebelumnya. So, apa yang salah?.
Kesalahan berpikir kedua, adalah memaksakan cara berpikir asketis yang berkarater penghisapan (bukan asketis yang berkarakter revolusioner). Seolah tugas yang dianggap “mulia” itu, harus miskin dan penuh penderitaan. Penderitaan-penderitaan harus diterima dengan lapang dada. Ironisnya, penderitaan-penderitaan itu diharuskan diterima bukan karena pilihan, tapi lebih ke paksaan.
Kesalahan berpikir ini sama kalau ada orang datang dan berkata, “Saya miskin”, “Itu karena kamu malas”, “Lho, gimana malas, tiap hari saya bekerja dari pagi sampai malam?”, “Berarti itu karena kamu hidup, coba tidak hidup, kemiskinan kamu hilangkan?”. Sama dengan cibiran yang menganggap, “Kalau kamu mau hidup berkecukupan, ya jangan jadi guru!”. Seolah-olah guru harus ditakdirkan miskin. Padahal persoalan miskin, tidak miskinnya guru, bukan terletak pada profesi guru itu sendiri, tapi lebih ke sistem yang memiskinkan profesi itu. Sistem inilah yang dilawan para guru. Tentu guru juga bukan menuntut untuk kaya, tapi setidaknya hak untuk membeli buku, itu penting!.
Logika tersebut sama halnya kalau ada yang orang yang datang dalam keadaan lapar, lalu dijawab dengan menyuruh mereka ibadah. Lapar dihakimi sebagai nafsu, padahal ia realitas alami. Lalu diambillah kesimpulan, “Cepat lapar, karena kurang berdzikir!, makanya perbanyak dzikir!”.
Cara berpikir asketis berkarater penghisapan inilah, yang melanda dan merundung bangsa kita hari ini, yang membuat kita terus berada di garis terbelakang (kondisi-kondisi ini pula yang mendorong Tan Malaka menulis Madilog, untuk meluruskan cara berpikir bangsa ini!) .
Ada kecenderungan menerima suatu kenyataan, tapi tidak mampu menemukan sebab konkrit antara kenyataan yang dialami dengan realitas sosial yang terjadi. Contoh lainnya, sama halnya kalau ada yang berkata, “Biarkanlah pejabat korupsi, peduli amat!, toh nantinya juga dia masuk neraka”. Meminjam istilah Cak Nur, kesalahan berpikir ini, karena meng-ukhrawikan dunia, tidak bisa membedakan dunia dan akhirat. Korupsi persoalan dunia, dan neraka persoalan akhirat, lalu persoalan dunia ingin diseleseikan dengan jawaban akhirat.
Alasan untuk terlepas dari persoalan sosial dianggap sebagai kebaikan, tercandukan dengan hipokrisi imajinasi tentang yang abstrak, sebagai alasan untuk berpaling menolak yang rill. Ibaratkan kakinya di bumi, tapi tangannya dilangit. Menggelantung!.