Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Nalar Tanggap Atas Pernyataan Prof Qurais Shihab*

16 Juli 2014   09:38 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:11 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pernyataan quraish sihab (selanjutnya disingkat QS) bahwa ‘’nabi muhammad tak dijamin masuk surga’’ kelihatannya menuai kontroversi. Awalnya saya tidak ‘’tertarik’’ menelusuri sumbernya (video). Namun kawan saya chat lewat FB juga memberi pesan ‘’’pertanyaan’’ yg sama—meski makna pesannya sebenarnya adalah keinginan untuk berdiskusi. ‘’kerinduan’’ untuk saling bertukar pengetahuan dan saling melempar ‘’pertanyaan-pertanyaan krusial’’ bagi sebagian orang mungkin tabu—refleksi dari perkawanan atas pengalaman dalam beberapa momen kajian. Aan bukan nama samaran. J

---

Entah tulisan ini adalah wujud tafsiran subjektif atas pernyataan quraish sihab, yang jelas tentunya tidak mewakili kandungan makna yang ingin disampaikan qurais sihab—lebih baik ketika ini disebut sebagai pendapat pribadi penulis—entah dalam konteks menafsirkan ataupun sekadar ikut ‘’memeriahkan’’ kontroversi dengan argumentasi penalaran pribadi.

Yang paling mendasar untuk memahami pernyataan QS adalah melihat konteks pada saat bagaimana pernyataan itu dilontarkan—latar belakang apa yg mendasari serta tujuan dan melihat proposisi-proposisi yang mengikutinya, ibaratkan proposisi-proposisi adalah rangkaian kalimat dalam satu paragraph utuh, dimana makna tak bisa dipetik secara literalis-tekstual, tak pula bisa dipahami dengan pola yang patah tetapi didalami secara simbolik dari wujud tesktual (narasi teks lisan) yang ada dengan melibatkan narasi teks lisan secara utuh (termasuk makna dapat dipetik lewat gesture ketika teks lisan itu disampaikan).

Meski kita pahami bahwa untuk memahami makna apa yang ingin disampaikan oleh si pembicara (qurais sihab) tidak ada tindakan yang paling tepat selain menanyakan dan mengkonfirmasi langsung ke subjek yang bersangkutan (toh ia masih hidup). Apapun makna yang ia sampaikan tetap saja kita harus mempersepsi sebagai pendapat pribadi atau tafsir pribadi—sama sekali tak menghilangkan keyakinan kita atau tafsir kita yang lain ketika memang berbeda terhadap pokok masalah. Tanpa harus saling menuduh dngan tuduhan-tuduhan ‘’kebencian’’—sesat, kafir dan sejenisnya.

‘’Nabi Muhammad’’ :Al Basyar, An nas Dan Al Insan

Membicarakan Nabi Muhammad sama halnya membicarakan tentang ‘’manusia’’ itu sendiri—dalam posisinya sebagai makhluk ciptaan. Al quraan setidaknya menggunakan 3 terminologi ketika berbicara tentang manusia yakni al basyar, an nas dan al insan. Al basyar seperti kita ketahui menunjuk pada makna manusia sebagai makhluk bilogis (fisiologi), an nas sebagai makluk dalam konteks hubungannya dengan sosial, dan al insan sebagai makluk dalam konteks hubungnnya dengan tuhan serta manifestasi hubungan kesucian dalam an nas dan al basyar.

Sehingga relevan untuk mengatakan gelar ‘’kenabian’’ bukanlah gelar Muhammad sebagai al Basyar bukan pula sebagai an nas melainkan sebagai al insan. Ada kaidah hukum tuhan yang berlaku secara universal bagi seluruh mkhluk khususnya yang berspesies manusia yakni keberadaan khendak bebas/khendak untuk memilih—dan ini berlaku tanpa memandang strata sosial, fisik bahkan posisi spritual (nabi) sekalipun. Hal ini menjadi relevan dngan gelar al insan sebagai sebuah wujud pencapaian bukan sebagai pemberian, ia adalah pilihan bukan paksaan. Dengan gelar nabi sekalipun karena ia adalah pencapaian tak dapat lepas dari keberadaannya sebagai pihak yang memiliki khendak bebas. Dalam arti kata yang lain, saya—anda—dan kita semua sama dengan nabi muhammad dalam konteksnya bahwa kita memiliki potensi yang sama : baik dalam hal al basyar, an nas maupun sebagai al insan. Perbedaan kita dengan nabi ada pada dimensi aktualitas. Aktualitas adalah wujud pencapaian yang dicapai lewat keberadaan khendak bebas.

Menilai Pernyatan Qurais Sihab

Satu pernyataan yang berkelindang dalam satu irama teks tetapi dipadang dengan 3 pendekatan terminologi diatas secara berbeda—tentu ketika tidak jeli dan dalami maknanya hanya akan mendorong kita mengambil kesimpulan dangkal (permukaan). Seperti halnya memandang gajah dari sudut depan berbeda dengan dari sudut belakang, apalagi samping, bawah ataupun dari atas—meski objeknya tetap sama. Begitupun memandang posisi nabi muhammad dalam perspektif manusia dan persepktif tuhan tentunya berbeda—bgitupuna dalam kerangka al basyar, annas dan al insan.

Dalam perspektif tuhan—kalau kita sepakat bahwa pandangan tuhan terhadap keseluruhan ciptaan adalah pandangan universalitas—terhindar dari pandagan partikulir, dalam artian semua sama dimata tuhan—tidak ada yang spesial atau tidak ada yang terkecualikan—dalam posisinya bahwa eksistensi segala keberadaan adalah manifestasinya—atau semua hasil karya tuhan sama didepan tuhan—tidak ada hubungan khusus diantaranya. Maka ketika QS mengatakan ‘’tidak benar nabi muhammad dijamin masuk syurga’’ adalah sebuah pernyataan dari sudut pandang tersebut, untuk memahami bahwa nabi muhamad adalah ciptaan tuhan yang memiliki potensi yang sama dengan seluruh ciptaan yang lainnya (universalitas)—dalam artian bukan ‘’jaminan’’ yang menjadi sebab seorang (manusia) masuk surga, melainkan adalah pencapaian dirinya sendiri (bukan jaminan yang membuat nabi masuk surga melainkan pencapaian yang menjadi sebab terpenuhinya syarat-syarat ‘’penjaminan’’ itu)—sebab ketika satu orang manusia dijamin, lantas bagaimana dengan yang lain pada satu sisi semua manusia sama didepan tuhan, setidaknya secara potensial. tidak ada pengkhususan makhluk dalam pandangan tuhan—dan pernyataan tersebut tidak menunjuk pada posisi nabi muhammad sebagai al insan (nabi). Sebab posisi al insan dan surga adalah ibarat dua keping uang logam dari sifat tuhan itu sendiiri. Mirip dengan beberapa ayat yang menyandingkan muhammad sebagai makluk yang sama dengan kita (manusia biasa)—nabi tidak dijamin masuk surga dalam persektif azalinya (potensialitasnya) sebagaimana tidak adanya kekhususan spesial dalam hubungan tuhan dengan ciptaannya. Keberadaan potensialitas itulah yang terus menerus menciptakan kemungkinan-kemungkinan—oposisi terhadap keabsolutan.

Pernyataan lanjutan QS: meski kita yang yakin (kalau muhammad pasti masuk surga)—adalah porposisi yang menggunakan perspektif manusia dalam melihatnabi muhammad. Hal ini sama dengan kalau kita mengatakan bahwa dalam perspektif manusia muhammad telah melewati fase yang membuatnya menjadi manusia suci yang tak berbuat ‘’salah’’—tetapi berbeda makna kadar kualitas kesucian tersebut ketika kita melekatkannnya dari sudut pandang tuhan. Sosok nabi tetap adalah manusia dalam posisinya sebagai ciptaan—hanya saja ia adalah manusia yang melampaui manusia pada umumnya dari sisi pencapaian (maka dari itulah ia yang diberi tugas sebagai nabi). Dari perspektif kualitas manusia ‘’nabi Muhammad’’ adalah sosok ‘’suci’’—dari kepribadian mencerminkan sifat-sifat tuhan—meski tetap saja ia bukan tuhan tetap saja ia adalah manusia (ciptaan)—figur manusia panutan--manusia yang sampai pada ''kesadaran ilahi'' tapi tak pula diartikan kehilangan unsur kemanusiaannya. Inti dari proposisi QS (keyakinan akan masuk surganya nabi) adalah perspektif manusia yang mencapai kualitas al insan—yang dipandang dari sisi aktualitas kenabian. Terminologi muhammad dalam posisi aktualitas kenabian adalah simbol maknawi dari tipologi pencapaiaan kesempurnaan (al insan) dari sisi aktualitas insan bukan sebagai personalitas—tentunya berlaku untuk semua manusia. sebagaimana manusia, nabi bukanlah ''robot tuhan'' yang benar-benar kehilangan unsur manusiawinya yakni tercerabutnya khendak bebas dirinya dalam bertindak--hanya saja perbedaannya pada sisi aktualitas ia disebut ''terjaga'', terjaga dari apa?--terjaga atas khendak bebas dirinya sendiri.

Pernyataan lanjutan QS: dari percakapan sahabat dimasa lalu yang intinya adalah nabi menolak pengkultusan oleh sahabat yang mengklaim diri (nabi) sekalipun sebagai orang yang berhak atas surga, lantas nabi menjawab ‘’tidak seorang pun yang berhak atas surga karena amal’’ sahabat berkata: termasuk engaku muhammad? Nabi mengiyakan dengan pengecualian ‘’kecuali yang mendapat rahmat (allah)’’.

Kandungan makna dari pernyataan tersebut sebenarnya mengandung makna ganda yang terkesan bertolak belakang tetapi sebenarnya tidak berrtetangan. Mengisyaratkan dua hal antara ‘’mengiyakan’’ sekaligus ‘’mengecualikan’’ keduanya melingkupi kediriannya yang mengarah pada peng-esa-an allah. Disatu sisi menolak pengkultusan—sebagai penegasan diri dan kerendahan hati sebagai ciptaan (dalam posisi ini nabi memposisikan diri sebagai al basyar dan annas yang pada hakikatnya sama dengan manusia lain), disatu sisi menegaskan keberadaan dirinya (sebagai nabi: orang yang mendapat rahmat bukti kenabiannya—al insan) sambil menjujung tinggi penciptanya—mengisyaratkan ‘’jaminan’’ diri juga menjadi relevan dalam konteksnya sebagai nabi (pengajak) kejalan yang lurus—tetapi hal ttsb dinilai dari sisi aktualitasnya. Tipikal ini mirip dengan ayat poligami dalam alquraan yang mengandug makna perintah (ijin) sekaligus larangan. Yang menurut penulis meyakini bahwa tendesi ayat poligami tersebut lebih mengarah pada ‘’larangan’’, sebab ayat poligami dalam alquraan tsb adalah berpola ijin bersyarat. Proposisi ‘’ijin besyarat’’ selalu mengandung makna dominan sebagai larangan.

Surga-Neraka Hak Prerogatif Tuhan: Kritik Terhadap Qurais Sihab

Penggunaan istilah hak prerogatif memang cenderung bias penafsiran terhadapnya, apa lagi istilah ini dalam kehidupan sosial poliitk identik dengan penggunaan hak veto—yang umumnya digunakan amerika serikat dalam forum PBB—merepresentasikan kekuasaan yag egoistik.

Pernyatan QS: sebesar atau setaat apapun seorang kiai jangan pastikan ia masuk surga, begitupun sebaliknya sedurhaka apapun seorang manusia jangan pastikan Ia masuk neraka. Penulis bersepakat dalam konteks tersebut sbagai wujud kebenaran sosial yang mengajarkan kita untuk bijak dalam memandang realitas—menolak pengkultusan yang berlebihan sekaligus pengtakfiran secara berlebihan pula—apalagi itu bukan kewenangan manusia untuk menilai apalagi’’menetapkan’’.

Hanya saja persoalannya menurut penulis bukan atas dasar bahwa segala sesuatunya (surga neraka) adalah hak prerogatif tuhan. Melainkan ini lebih kepada upaya kita untuk mendefinisikan makna: benar-salah dan baik-buruk itu sendiri, taat atau durhaka itu sendiri. Kita memahami bahwa tuhan memiliki hak prerogratif sebagai wujud penolakan kita atas keberadaan persekutuan kekuatan atas drinya. Akan tetapi menjadi bias makna ketika hak prerogatif itu hanya identik dengan kemaha kuasaan tetapi justru mereduksi dan mengeliminir makna kebijaksanaan dan keadilan tuhan itu sendiri.

Hak prerogatif tentu tidak tepat untuk ditafisirkan ‘’mau-maunya tuhan’’ sebgai pengasosiasian atas kekuasaan dan kemaha khendak-an tuhan. Tetap ada kaidah hukum yang mendasari, serta tidak ada kontradiksi upaya untuk mempertentangkan perdebatan klasik kemaha kuasaan tuhan (prerogatif tuhan) sebagai sifat tuhan dengan keadilan tuhan disatu sisi. Keburukan tak bisa diasosiasikan dengan surga, sebagaimana neraka tak bisa diasosiasikan dengan kebaikan. Pertentangan antara kebaikan dan keburukan, penindas dan yang teritndas dalam ranah sosial adalah manifestasi dari prisnip transendental atas keberadaan surga dan neraka. Dan itu harus diakui sebagai realitas yang objektif. Persepsi ini seperti halnya upaya untuk mengakui keberadaan khendak manusia secara bebas tanpa harus dipertentangkan dengan keberadaan khendak tuhan itu sendiri. Disatu sisi kita masuk surga ataupun neraka karena rahmat tuhan—tanpa menafikan bahwa surga dan neraka adalah pilihan pencapaian atas khendak kita dalam aktualitas kita untuk memilih dalam pola hukum sebab-akibat. Prinsip yang mendasarinya adalah prinsip ''keselarasan''--sehingga menjadi tidak relevan dengan prinsip ''kebersilangan''. Pertanyaan apakah mungkin tuhan akan memasukkan ‘’orang baik’’ pada neraka ataupun ‘’orang buruk’’ pada surga atas nama hak prerogatif? Tentunya menjadi tidak rasional untuk menerima konsepsi tersebut—kekuasaaan yang altruistik takkan mungkin mengkebiri keadilan, hanya kekuasaan yang egoistik yang selalu mengkebiri keadilan—dan itu hanya sifat AS bukan sifat tuhan.

*tulisan ini sekadar refleksi bebas, tentunya bukan ''surat terbuka,'' hhh juga tidak ditulis dnegan tata penulisan yang baku karena memang bukan unutk tujuan itu—(tidak dilengkpi kutipan (pernyataan ataupun ayat yang detil)—bukan berarti tak berdasar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun