It is no measure of health to be well adjusted to a profoudly a sick society (J. Krishnamukti)
Tak ada obat yang bisa menyembuhkan suatu masyarakat yang sakit. Seperti dengan organ yang sakit, ketika tidak ada obat yang mempang untuk menyembuhkan, maka pembedahan pun menjadi pilihan. Mengangkat borok-borok virus bakteri yang menerkam untuk tetap bisa bertahan dengan kondisi yang normal.
Sejak  abad 20 ini, di negara-negara maju seperti AS, Inggris, dan beberapa negara Eropa lainnya, seiring dengan meningkatnya anomali sosial, ada kecenderungan praktik lobotomy juga merebak. Lobotomy adalah sejenis pembedahan medis berupa mutilasi otak atau pembedahan otak, yang digunakan untuk mengontrol seseorang yang dianggap memiliki kecenderungan kebiasaan destruktif yang tak terkendalikan.
Pembedahan otak ini dilakukan dengan menambah ataupun mengurangi sel-sel atau elektroda-elektroda tertentu dalam otak yang memungkinkan pasien bisa dikontrol tindakannya. Ini dilakukan umumnya terhadap orang-orang yang memiliki kebiasaan ekspresi tindakan yang berlebihan, berpotensi destruktif yang tidak mampu dikontrol oleh pelaku. Karena itu, lobotomy ini paling umum dilakukan untuk kasus-kasus narapidana, pelaku kriminal, dan bahkan juga untuk orang yang dicap ‘gila’.
Praktik lobotomy ini mengingatkan kita pada pro-kontra yang berlangsung bulan Mei yang lalu, terkait hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual (khususnya korban di bawah umur). Kebiri dengan cara menyuntikkan zat-zat kimiawi tertentu yang dapat mengurangi hasrat seksual pelaku. Prosesnya bisa melalui pemberian pil ataupun dengan suntikan hormon anti androgen. Membuat pelaku bakal kekurangan hormon testoreon, yang bisa mengurangi atau bahkan melumpuhkan perlahan-lahan hasrat seksual pelaku.
Lobotomy blunder
Telepas dari perdebatan HAM yang mendasarinya. Lobotomy, adalah seperti sebuah jawaban dari suatu gejala kejiwaan, dimana manusia tidak mampu mengontrol diri akan kebiasaan-kebiasaan buruknya.
Bahkan aku tiba-tiba berpikir dengan metafora, apakah para tokoh politik pemantik ksiruh hari ini juga berpotensi layak menjadi pasien lobotomy? Dalam artian metafora kritik. Sejak Fadli Zon, Fahri, dan sekarang lagi-agi Ahok dan Rizieq. Merepresentasikan suatu gejala dari kebiasaan berkata-kata yang buruk di depan publik, yang tak bisa dikendalikan? Buruk dalam pengertian kasar, merendahkan, arogan, meledek, dan hal-hal sejenisnya.
Kesulitan mengontrol ucapan, di tengah merebaknya sejenis fenomena hakim pengadilan kata-kata oleh  masyarakat, ditambah lagi dengan situasi masyarakat yang juga mengidap sejenis penyakit xenophobia (ketakutan bercampur kebencian akan hal-hal asing/baru atau mungkin tabu), membuat situasi semakin keruh. Ini semiotika dari bagaimana kekisruhan tidak produktif itu terus direproduksi. Blunder untuk kesekian kalinya adalah kenyataan dari gejala psycosurgery itu.
Ada yang blunder, kisruh, minta maaf. Blunder, kisruh, minta maaf. Blunder, kisruh, minta maaf. Begitu seterusnya. Lantas sampai kapan siklus ini berakhir?
Tentu saja fenomena blunder ini tidak sekonyong-konyong karena faktor kesengajaan, melainkan mungkin saja sebaliknya, ini bukan perkara moral kebencian, dengan mengaprosiasi niat buruk pelaku. Tidak. Ini memang lebih tepat dan lebih adil disebut sebagai suatu gejala psiko-kebiasaan yang tak terkendali? (maaf kalau berlebihan). Terlepas apakah permintaan maaf itu murni ataukah politis, entahlah. Ini tentu saja berbeda, ketika pihak yang satu blunder, blunder berkali-kali namun menolak minta maaf? Siapa kira-kira ya? Entahlah…