Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

HMI Menolak Belok Kiri?

28 Februari 2016   03:03 Diperbarui: 28 Februari 2016   12:16 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Festival belok kiri (belokkiri.fest), yang rencananya digelar di TIM, dibubarkan secara paksa oleh aparat kepolisian, Sabtu (27/2). Alasannya, tidak mengantongi izin. Perihal tidak dikeluarkannya izin dari pihak kepolisian, diakui karena tekanan ormas-ormas tertentu yang menolak dan mengancam.

Yang patut disayangkan adalah sikap kepolisian, yang ingin mengesankan diri sebagai pelayan dan pengayom, justru “merasa” lemah di hadapan ormas-ormas yang sedianya menghalau kebebasan. Meski, kita tahu bahwa alasan “ancaman”, sebenarnya, hanyalah pembenaran sipil dari khendak aparat itu sendiri, sebagai alasan cuci tangan ala Orba.

Yang membuat saya prihatin adalah, HMI salah satu organisasi yang dituding terlibat di antara ormas yang menolak. Ada upaya untuk menggeneralisasi, berambisi untuk menuding dan menampakkan wajah artifisial purba HMI—wajah fundamentalis yang dipaksakan ala orba. Foto-foto massa dan bendera HMI yang sebenarnya hanya satu/dua orang itu di-share tiada habisnya. Menenggelamkan ormas yang lain. Bahkan muncul di media sosial, sebentuk ajakan provokatif, agar HMI membuat demo tandingan, untuk sekadar membuktikan dan memperjelas posisi (keberpihakannya).

Meski di satu sisi, bendera HMI berkibar-kibar menolak festival belok kiri itu, memang cukup memalukan!. Tapi, benarkah tindakan satu/dua anak culung itu, layak dianggap mewakili organisasi sebesar HMI? Sehingga begitu mudahnya tuduhan-tuduhan yang dilontarkanpun justru mengarah pada organisasinya?

Memang diakui, HMI sebagai organisasi mahasiswa Islam tertua di Indonesia, dengan ribuan kader, selalu menjadi objek politik yang diperhitungkan, dan tentunya dilirik, baik sebagai subjek politik maupun sebagai objek dan alat politik. Ada upaya untuk menguliti, menampakkan hal kecil untuk bisa dibesar-besarkan sebagai noda. Masih ingat isu kongres sebelumnya? Hampir semua berita tentangnya hanya selalu berkutat pada isu “penyanderaan kapal”, atau “nasi bungkus”, atau kericuhan lainnya. Tak satupun mencoba sedikit bijaksana untuk menyoroti dimensi lain yakni dimensi intelektual di d[caption caption="source picture google"][/caption]alamnya. Padahal dinamika intelektual ini masih kuat di HMI, yang membuat organisasi ini bertahan hingga hari ini. Ada satu sikap intelektual yang bertahan, dan sangat saya hormati di organisasi ini, yang mungkin tidak banyak dimiliki oleh organisasi kiri dan progresif lainnya, yaitu, “kebebasan untuk berpikir, bebas untuk berpendapat dan bebas untuk mengambil posisi keberpihakan”.

Kehadiran “kebebasan pikir” itulah yang menjadi fondasi dinamika intelektual di organisasi ini terus berkembang. Saya bisa bilang, hampir tidak ada organisasi yang bisa melahirkan kader yang sangat majemuk, selain HMI. Dari yang paling kanan, hingga yang paling kiri. Mulai dari yang tersandung isu teroris seperti Basyir, yang liberal, nasionalis, moderat ala NU, moderat ala sufi, hingga yang Marxian (upaya untuk mengawinkan dimensi keIslaman dengan teori-teori Marx, isu ini dalam HMI, umumnya dikaji dan dibedah,dan dikemas dalam wacana teologi pembebasan). Dan aliran-aliran itu ada dalam kader, muncul sebagai sebuah pencapaian bukan pemberian.  Mereka selalu duduk dalam satu meja bukan sekadar berdiskusi, bahkan berdebat. HMI seperti meja yang mempertemukan mereka. Begitupun tidak sedikit kader HMI yang mencoba memetakan gagasan mereka dalam ranah praktis, mengambil jalan kultural. Tidak semuanya struktural, sebagaimana yang selalu ditudingkan sebagai pemburu politik (kekuasaan).

Hal ini untuk menegaskan bahwa dinamika intelektual, dalam tubuh HMI, tidak pernah statis. Organisasi yang memayungi kebebasan ini, seperti menyemai benih pemikiran-pemikiran sebagai warna HMI untuk mencari pola dan formulasi cara pandang organisasi dan gerakan. Tidak sedikit dinamika formula gerakan itu, muncul sebagai sebuah pertentangan internal sebagai sebuah dialektika ide-ide progressif, mencari celah pembaharuan. Paradigma teologi pembebasan, salah satu produknya.

Upaya untuk terus menggeneralisasi pengkontradiksikan HMI dan gerakan kiri di Indonesia, menurut saya adalah tindakan gagal paham. Tidak hanya gagal paham terhadap dinamika gerakan, juga gagal memahami dan merekonstruksi kesadaran hegemoni sejarah Orba.

Memang diakui bahwa sejarah pembungkaman struktural kekuasaan terhadap PKI hingga pembubarannya, yang puncaknya pada G30SPKI, melibatkan HMI, dan tentunya bukan hanya HMI, organisasi mahasiswa berhaluan Kristen, Katolik maupun nasionalis pun berada dalam front yang sama dengan HMI. Tapi, pertentangan-pertentangan historis itu, seperti kita ketahui, bukanlah murni sebuah perbenturan frontal gagasan dan ideologi, tapi lebih ke persoalan politik praktis, yang melibatkan pelaku kekuasaan, militer dan kepentingan partai. Tak ada salahnya kalau kita berkata, “semuanya, sebenarnya adalah korban” keganasan sistem politik status quo. Kesadaran sejarah itu sudah melebar di kalangan kader, mendahului ide-ide rekonsiliasi yang selama ini didengungkan.

Nah, satu/dua orang yang “mengaku” HMI, demo tersebut, yang hanya berasal dari satu cabang saja (kalaupun itu benar), tentunya tidak merepresentasikan posisi kader HMI keseluruhan. Baik dalam tindakan dan keputusan organisasi, lebih-lebih pada aspek posisi keberpihakan kader. Seperti yang dikatakan sebelumnya, bahwa pemikiran di HMI cukup beragam (plural), dan tak pernah satu, apalagi berharap untuk dipaksa seragam. Kemajemukan itu muncul sebagai suatu dinamika pemikiran dalam mencari pola pembaharuan.

Pertanyaannya apakah HMI menolak belok kiri?  Sejarah HMI adalah sejarah perjuangan dan perlawanan terhadap segala bentuk kemapanan yang menindas. Spirit Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI, adalah spirit untuk tidak tunduk terhadap segala bentuk berhala-berhala sosial-politik, tahayul, dan termasuk segala bentuk penyelewengan kebenaran dan sejarah. Kalau kata “kiri” sederhananya berhaluan terhadap anti kemapanan menindas, maka HMI bisa dibilang sejak terbentuknya adalah organisasi kiri. Hanya saja persoalan wacana tentang kiri di Indonesia khususnya, lebih berkarakter komodifikasi politik wacana yang bersifat monolitik. Ada kesan penyederhanaan dan penyempitan makna, bahkan cenderung dimonopoli, terkungkung oleh simbol-simbol organisasi tertentu. Seperti halnya seolah-olah satu-satunya manusia suci yang berperan melawan kapitalisme hanyalah Marx (tanpa mengurangi rasa hormat kita pada Marx). Upaya mengaku dan menuding, sehingga menyempitkan makna dan kesadaran “kiri” adalah karakter “wahabi” yang juga melanda organisasi-organisai kiri di Indonesia. Upaya untuk memonopoli kebenaran, bahkan mengkafirkan yang tidak (sesempit) sepemikiran dengannya. Pengkafiran-pengkafiran mewujud dalam tudingan-tudingan kebencian ini, bisa dibilang justru menghambat upaya untuk memajukan gerakan kiri di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun