Munculnya kembali isu tidak sedap sertfikasi ‘’halal-haram’’ MUI, bukan pertama kalinya menyeruak. Mulai dari isu tarif yang tinggi , mekanisme penetapan yang belum jelas, hingga persoalan transparansi income. Dan yang lebih mengemuka munculnya kembali isu tarik menarik kepentingan antara MUI sebagai ormas dengan kementerian agama sebagai representasi Negara, dalam konteks normatif mempersoalkan ‘’siapa’’ yang seharusnya ideal memegang mandat sertifikasi ‘’halal-haram’’ tersebut. Hingga sampai saat ini rencana RUU belum disahkan lantaran perbedaan persepsi perebutan monopoli, bahkan tawaran terbentuknya satuan gabungan muncul sebagai jalan tengah. Perebutan dengan berbagai alasan tekhnis yang tidak substansial menandakan bahwa kepentingan materil ‘’bisnis label’’ lebih dominan menjadi penyebab perseteruan, ketimbang alasan normatif ideologisnya.
Terlepas dari pokok perseteruan tersebut, hal yang layak didiskusikan lebih lanjut adalah bagaimana memaknai makna halal-haram dalam perspektif agama sesungguhnya, relevansinya dengan otoritas MUI sebagai institusi ke-agama-an.
Konservatisme Halal-Haram
Kalau kita melihat pijakan bangunan epistemologi ‘’halal-haram’’ yang selama ini berkembang akan terlihat dengan jelas paradoks ideologis yang muncul. Yang mengarah pada proses penyempitan makna yang fatal. Isu ‘’halal-haram’’ masih bergelut dan beputar pada poros kaidah fiqih tradisionalis, yang umumnya bersifat konservatif dalam memadang makna dari eksistensi ajaran. Terjadi materialisasi penafsiran makna yang berujung pada peng-tekhnikalisasian makna nilai, termasuk dalam hal ini ‘’halal-haram’’. Kontent utama yang menjadi pertimbangan analisa yang dijalankan selama ini hanya beputar pada isu eksoteris-empiris yang tampak sebagai sebuah objek yang kehilangan unsur kompleksitasnya sebagai bagian dari kehidupan sosial-ekonomi.
Ini tampak pada ketika isu ‘’halal-haram’’ hanya berputar pada isu permukaan seperti ada tidaknya campuran daging/minyak babi pada makanan, atau bagaimana proses pemotongan hewan misalnya (apakah sudah membaca bismillah atau belum) atau apakah alat pemotongan daging halal tidak di-campurbaur-kan dengan alat pemotongan daging haram. Atau lebih lanjut memandang kandungan makanan dari sisi keilmiahan (uji laboratorium) untuk menilai tingkat ‘’keberbahayaan’’ produk terhadap konsumen dilihat dari keberadaan campuran/zat-zat yang dinilai berbahaya. Dalam konteks ini MUI menjalankan fungsi medis lewat divisi LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika MUI).
Agama dalam Konteks Sosial
Harus diakui bahwa kenyataan agama hari ini memang telah tercerabut dari perannya dalam konteks sosial. Penginstitusian agama oleh kekuasaan pada kenyataannya telah ikut meng-kurus-kan agama itu sendiri, seiring dengan semakin abstraknya hubungan antara kepentingan pribadi yang terinstitusikan dengan kepentingan agama yang terlembagakan. Agama yang hadir adalah ajaran yang telah kehilangan pijakannya di bumi (baca: sosial), yang menggantung di langit lewat ritual-ritual dan pemaknaan-pemaknaan simbolik yang sempit. Dalam konteks ini terjadi pendangkalan pemahaman atas agama, yang hanya terus berputar pada isu-isu lahiriah, tanpa mampu menemukan sisi keterhubungannya dengan dimensi lainnya.
Ketika pemuka agama telah kehilangan kecakapan pemahaman atas isu ‘’halal-haram’’ yang selama ini hanya bertendensius pada ihwal ‘’babi’’ semata, maka agar tetap terjalin secara kompleks, maka fungsi-fungsi profesionalis lainnya pun harus dilakoni, salah satunya adalah fungsi medis yang diperankan MUI sebagai institusi ke-agama-aan. Dalam hal ini kita harus memahami bahwa fungsi medis adalah fungsi profesional-saintis, sedangkan agama tidak berada pada ruang profesional-saintis, melainkan agama berada pada wilayah sosial ideologis-normatif. Yang ironisnya ketika pelaku institusi ke-agama-an justru hanyut dalam kerja-kerja profesi-saintis, justru kehilangan kesadaran dalam ranah sosial ideologis-normatif tadi. Maka tampaklah MUI seolah tidak lagi menjadi wadah para ‘’ideolog agama-wan’’, melainkan sebagai ‘’asosiasi profesi’’ yang menjalankan fungsi ‘’profesi agamaistik’’, yang tak ubahnya adalah ‘’bisnis label’’.
Label ‘’halal-haram’’ disamping ‘’fatwa’’ telah menjadi ‘’produk-produk’’ tersendiri ditubuh institusi MUI, yang kadang pemaknaan terhadap makna ‘’produk’’ tersebut, sedikit banyaknya tidak melepaskan diri dari makna ekonomisnya dalam ruang lingkup korporat.
Memahami Makna ‘’Halal-Haram’’ Dalam Konteks Sosial
Dalam pemahaman dan penafsiran konservatisme keber-agama-an, kebenaran makna terletak pada eksistensi teks yang mutlak dipahami secara literalis. Tidak ada kebenaran diluar dari teks, atau dengan kata lain tidak ada kebenaran diluar dari penafsiran teks secara literalis. Ketika teks (kitab wahyu) menyebut haramnya beberapa makanan tertentu (seperti babi), maka penafsiran konservatis akan memahami kebenaran dalam skala dan ruang lingkup tersebut. Seperti halnya yang dominan menjadi pengetahuan umum hari ini, eksistensi objek yang disebut haram hanya berputar pada objek-objek makanan tertentu seperti babi, atau hewan-hewan yang hidup di dua alam sekaligus (buaya, dll). Sehingga olahan apapun ketika ada campuran hewan tersebut dalam makanan, maka otomatis produk tersebut dinisbahkan haram hukumnya. Pijakan inilah yang paling banyak dilakukan untuk menilai atau menetapkan labelisasi halal-haramnya produk.
Kalau kita mencoba mengkaji makna ‘’halal-haram’’ yang sesungguhnya, akan tampak dengan jelas dimensi sosiologisnya yang normatif. Bahwasanya persoalan makna ‘’halal-haram’’ ini bukan sekadar persoalan objek kebendawian atau proses saintis semata yang kehilangan dimensi sosial ideologisnya.
Islam sebagai sebuah ideologi sosial, mentrasformasikan dri dari eksistensinya sebagai ajaran langit menuju pada eksistensinya sebagai ajaran sosial yang hadir secara normatif. Disebabkan untuk ‘’membumi’’ eksitensi ajaran ini harus melewati fase budaya, sehingga disebut sebagai ‘’produk budaya’’ yang dalam artian secara konseptual merepresentasikan sistem, kondisi sosial-budaya, maupun sosial-ekonomi politik yang menjadi tempat tumbuhnya ajaran Islam ini. Sehingga jelas, bahwa proses untuk memahami makna dari setiap kosakata-kosakata semantic dalam agama selalu berpijak pada makna realitas sosialnya, termasuk dalam hal ini ‘’halal-haram’’.
‘’Halal-haram’’ adalah wujud hidupnya ajaran dalam kehidupan sosial, untuk menegaskan posisi sosial yang berada dalam ranah pertentangan, dikotomi sosial yang berkelindang, seirama dengan doktrin eksitensi surga-neraka, baik-buruk, yang termanifestasi secara sosiologis pada eksitensi kelas penindas dan kaum (kelas) tertindas (mustada’afin).
Semua agama memahami dan meyakini sisi determinisme dalam memahami gerak sosial dalam ruang gerak konfliktual. Dengan menempatkan gagasan ‘’kebenaran’’ atau ‘’kehalalan’’ sebagai dimensi dimana Tuhan sebagai cahaya bumi berpijak. Ini berarti halal atau haramnya sebuah kenyataan adalah makna yang sama untuk memahami baik-buruknya realitas, benar-salahnya sebuah kenyataan artificial. Yang kesemuanya adalah sisi ideologis normatif dari ajaran.
Sehingga cukup konteks untuk memahami bahwa persoalan ‘’halal-haram’’ ini bukan sekadar berada pada wilayah materil kebendawian semata, tetapi jauh lebih substansial berada pada pemaknaan sosial. Bahwasanya produk-produk korporasi harus disebut ‘’haram’’ bukan lantas hanya melihat kandungan produknya secara saintis semata, tetapi secara sosiologis dilihat dari apakah eksistensi korporasi dalam mengahasilkan produk, dihasilkan dari penindasan atau tidak, penindasan yang mecakup dalam skala sosial dan alam. Sebab untuk konteks sekarang kebanyakan produk-produk yang dihasilkan secara massal justru menyisakan ruang gelap pertanda dari kenyataan bagaimana para buruh ditindas lewat jam kerja yang tidak memanusiakan, upah yang sangat tidak manusiawi, hingga akumulasi profit yang ditahan (dinikmati) oleh seglintir kelas pemilik faktor produksi, yang pada dasarnya adalah bentuk penghisapan massif terhadap kelas pekerja.
‘’Halal-haram’’ berada pada wilayah proses sosial produksi tentang bagaimana produk tersebut dihasilkan, yang ditafsir dalam kerangka kelas, sehingga hanya dengan persepsi ini hakikat dari eksistensi ajaran kembali hidup sebagai pedoman dan ideologi bagi kaum tertindas. Bukan justru sebaliknya memberi label ‘’halal’’ pada korporasi ditengah penghisapan yang berlangsung, justru menempatkan agama sebagai pelegitimasi dari status quo penindasan korporasi. Meskipun model ‘’agama borjuasi’’ inilah yang paling dominan terjadi. Termasuk relevan dengan isu ‘’halal-haram’’ yang sampai hari ini mencuat.
Eksistensi produk menjadi haram atau halalnya sangat ditentukan oleh penafsiran ideologis sosiologis untuk menjamin bahwa keadilan dalam konteks sosial-ekonomi berjalan sebagaimana seharusnya. Sebab ranah ‘’halal-haram’’ adalah ranah pembatasan ruang lingkup atas ‘’hak’’, yang menjadi pijakan untuk memahami keadilan sosial. Haramnya sebuah produk menjadi pertanda bahwa perampasan hak terjadi secara massif. Dalam hal ini harus ada keberanian memberi label ''haram'' kepada produk-produk yang dihasilkan dalam proses produksi yang menindas secara sosial.
Saya pikir-pikir, seandainya MUI memahami makna halal-haram ini dalam perspektif sosial, maka saya berangan-angan betapa semakin susahnya mendapatkan produk yang halal hari ini, mungkin disetiap sudut-sudut toko terbungkus rapi produk tapi memiliki label haram. Dikarenakan produk itu menjadi pertanda sekaligus bukti dan kenyataan betapa penindasan-penindasan dan tragedi-tragedi sosial terjadi dalam lingkup korporasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H