Kita kadang sering berlaku tidak adil terhadap guru. Guru yang diserahkan setumpuk tugas berat, ditukar dengan upah yang hanya bisa ditukar dngan odol dan sabun mandi—dan itu kita anggap wajar. Di saat yang sama kita menuntut guru dengan banyak tuntutan. Seolah-olah guru harus merebut sedikit kekuasaan Dewa untuk dapat menyulap anak kita seperti yang kita harapkan. Memang adil sejak dalam pikiran, apalagi tindakan, tidak mudah!
Tak tanggung-tanggung, para orang tua “dengkul” yang hanya pandai mengoceh menyalahkan guru ketika anaknya berbuat buruk misalnya. Guru dengan kekuasaannya yang kecil itu, seperti menjadi satu-satunya tempat yang paling mudah untuk melampiaskan amarah. Seorang anak yang konvoi membentak polwan, siapa yang salah? Guru! Seorang siswa tidak lulus. Yang salah, ya guru! Anak bertindak asusila, yang salah tetap guru! Guru adalah orang yang ditakdirkan menampung segala musabab dari segala keburukan muridnya.
Padahal kalau kita ingin jujur, beban moril berupa tugas moralitas yang “dibebankan” kepada guru sungguh tidak fair. Dengan setumpuk tuntutan kurikulum yang padat yang harus diraih, dengan jam sekolah yang sudah cukup padat untuk menampung hal itu. Guru masih harus dibebankan beban-beban moral, mendidik moral, dan bahkan konon meluruskan akhlak, dll. Karena itu, guru selalu bersiap-siap untuk menerima cercaan, kalau saja ada muridnya berbuat amoral meskipun di luar sekolah sekalipun.
Padahal hipotesa— meski belum ada penelitian yang mengkuantifikasi dalam angka—“Benarkah siswa terbentuk secara moralitas dalam sekolah?”, adalah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Sebab dalam teori sosial sederhana sekalipun, dipahami bahwa moralitas adalah hal fundamen bagi manusia. Ia ada dan terberi dari proses interaksi primer yang paling intim, bernama keluarga—sedangkan sekolah dalam hal ini adalah pranata interaksi yang bersifat sekunder. Itu berarti anak yang datang ke sekoah, sebenarnya lebih dominan membawa karakternya yang dibentukkan dan diserap oleh keluarga, ketimbang terbentuk di sekolah. Dan ironisnya, para orang tua kadang cenderung cuci tangan untuk melihat hal ini. Jadilah guru yang sebagai objek yang terus dipersakitkan akan hal itu.
Guru adalah pesakitan. Bukan hanya menjadi objek pesakitan dari masyarakat, tapi juga dipicu oleh perlakuan pemerintah yang bermuka ganda melihat guru. Kebijakan pensejahteraan yang jauh panggang dari api misalnya, hingga perlindungan guru yang minim. Alih-alih, berharap akan perlindungan guru, kebijakan yang hadir justru hanyalah kebijakan-kebijakan yang hanya menempatkan guru sebagai objek liar yang harus dikendalikan. Larangan guru merokok di sekolah contohnya, adalah kebijakan yang tidak terlalu signifikan dalam kaitannya mengangkat martabat guru. Kita paham bahwa ada kebijakan yang harusnya diprioritaskan: kesejahteraan misalnya. Kesejahteraan yang manusiawi adalah faktor penting yang bisa mengangkat kembali martabat guru yang hingga hari ini dipreteli.
Bahkan upaya pemerintah dalam menciptakan status perbedaan di antara guru seperti: guru bantu, guru honorer, guru tidak tetap, dan sebagainya. Bukan lagi dilihat dan ditempatkan berdasarkan fungsinya sekarang ini, tetapi lebih merupakan pembedaan-pembedaan berdasarkan standarisasi kelas sosialnya yang rendah atas upah yang tidak manusiawi.
Guru, dengan kekuasaannya yang kecil itu, dan dengan kesejahteraan yang memilukan, membuatnya seperti dibuang dalam kasta paling rendah di masyarakat yang sedianya menuankan uang dan materi. Karena itu guru terlalu mudah dipreteli oleh banyak pihak termasuk orang tua murid sendiri. Di alam kapitalisme sekarang, materi adalah ukuran “kasta” seseorang, kehormatan yang dinilai dari materi ini sekonyong-konyong semakin mempreteli profesi kaum-kaum intelektual seperti guru.
Di salah satu desa tepencil di Kalimantan Barat, yang bernama Sungai Radak, Kamis (19/5) seorang guru bernama Jamilah (39), dicukur oleh orang tua murid, lantaran tidak terima anaknya yang manja itu dicukur oleh sang guru karena dianggap melanggar tata tertib kerapian sekolah. Sebuah perilaku banal yang memalukan sekaligus mempermalukan guru sebagai profesi secara keseluruhan.
Segala wujud kasus yang mempermalukan guru, mempreteli hak dan martabat guru seperti kasus di atas, sebenarnya tidak lepas dari buah kebijakan politik (keberpihakan) negara terhadap guru yang sangat lemah. Guru dengan ketidaksejahteraannya yang memilukan itu, ditambah dengan alphanya perlindungan negara terhadap guru, seperti sebuah legitimasi oleh pemerintah untuk menempatkan guru di dalam kasta paling rendah di masyarakat. Hidup di masyarakat kapitalis dengan kondisi ekonomi seperti itu, adalah sebuah aib dari sebuah kehormatan yang digadai oleh pandangn-pandangan congkak manusia-manusia yang mempertuankan materi. Sehingga yang terjadi: guru kadang dipandang sebelah mata, hingga diperlakukan dengan cara-cara yang tidak elegan.
Guru adalah kaum paria baru yang diproduksi ulang di alam kapitalisme saat ini. Ia yang menaggung “paria” (pahit) hidup untuk menyanggah kehidupan sosial berjalan ideal. Guru sudah seperti budak---budak terdidik. Dengan upah 200 ribu-300 ribu perbulan, ia pun harus menanggung sisi-sisi manusiawinya yang dilecehkan. Memotong rambut guru adalah salah satu bentuk pelecehan purba itu.
Hal yang sama terjadi pada kasus-kasus pemidanaan guru oleh orang tua murid yang notabene seorang polisi misalnya, terjadi di Bantaeng Sul-Sel, hanya karena guru bersangkutan mencubit siswanya. Hukum seperti jalan pintas dan paling mujarab untuk mengamputasi perlawanan guru, karena ia tahu guru tidak mampu “membeli” hukum itu sendiri.