Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Golput: Lahan Garap Politik ‘’Potensial’’

1 Maret 2014   06:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:21 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Memilih atau tidak memilih atau ‘’memilih untuk tidak memilih’’ adalah hak politik warga Negara. Rendahnya partisipasi politik rakyat yang dilihat dari pembengkakan angka ‘’golput’’ sebuah tanda bahwa sistem perpolitikan kita sedang ‘’sakit’’. Sejak era 1999 data KPU menyebutkan golput berada pada kisaran 8%, meningkat menjadi 16 % (2004), hingga mencapai angka 30% (2009). Prediksi 2014 pun berada pada angka 50 (prediksi LSI) hingga 75%. Ditingkat pemilihan kepala daerah rata-rata golput sudah berada pada kisaran 50% (republika 09/12/13). Ini pertanda golput hakikatnya adalah pemenang mutlak dari setiap jenjang pesta demokrasi.

Demokrasi yang hakikatnya adalah wujud kedaulatan kolektif rakyat semakin tergerus oleh spiral politik otokrasi, yang menjadikan kelas elit politik sebagai pelaku subjek sekaligus objek politik semata. Meski golput bisa disebabkan beberapa faktor sebut saja persoalan tekhnis pemilu, tetapi kuantitas pengaruhnya terbilang tidak signifikan. Dalam artian pokok substansi dari persoalan golput adalah ke-enggan-an masyarakat untuk terlibat, yang bisa disebabkan oleh dua hal yang saling beriringan satu sama lain yakni pertama: persepsi publik atas tidak signifikansinya pemilu yang tetap pada kenyataannya tidak akan menyentuh kepentingan rakyat kecil pada umumnya, yang kedua adalah akumulasi kejenuhan politik, yang berujung pada apatisme politik. Hal ini berarti penguatan golput adalah wujud penguatan kesadaran politik rakyat dalam membaca sistem dan borok-borok politik yang muncul ke permukaan.

Pilihan untuk golput bukanlah perkara moral, tidak pula melanggar norma hukum, apa lagi melanggar norma agama. Justru sebaliknya untuk kenyataan hari ini golput adalah sebuah kebutuhan, keniscayaan menuju perubahan sistem politik lama. Persepsi yang menyatakan bahwa golput justru menjadi legitimasi tercaploknya politik kekuasaan ditangan-tangan orang tak bertanggung jawab, merupakan kebenaran dalam persepsi jangka pendek. Selama golput masih dilihat sebagai fenomena kejenuhan politik personal.

Oleh karenanya persoalan golput ini harus di pandang secara kolektif sebagai sebuah pembangkan sipil-politik. Yang relevansinya dengan kebutuhan keberadaan peng-organisir-an kejenuhan politik personal menuju kejenuhan politik kolektif, yang harus dipersiapkan untuk ‘’meledak’’ secara kolektif dan progresif dalam merombak sistem politik elitis borjuasi hari ini.

Sebab tidak dipungkiri karakter sistem politik yang berjalan diera reformasi ini tidak ubahnya merupakan model politik orde baru dalam tampakan demokratis. Kekuatan politik dikendalikan oleh segelintir elit dari berbagai partai, yang tergabung dalam ruang apa yang disebut dengan ‘’koalisi’’. Wajah-wajah lama yang tiada lain merupakan produk-produk orde baru kelihatannya masih mendominasi percaturan politik sampai 2014 ini. Yang berarti kita tidak berharap perubahan signifikan, selain dari sekadar menyaksikan bagaimana tradisi politik yang sudah usang tetap berlanjut.

Siapapun yang melihat angka golput yang membengkak hari ini akan memandang bahwa golput adalah ladang garap politik potensial. Itulah sebabnya sejak fase awal munculnya partai demokrat dan partai keadilan sejahatera yang muncul diera reformasi memiliki pangsa suara yang begitu mencolok, meski kenyataannya itu hanya bersifat temporer sebab tidak ditopang oleh politik ideologis yang kuat dari sekadar mengeksploitasi kecenderungan kejenuhan politik yang marak terjadi.

Untuk konteks sekarang sudah saatnya bagi mereka yang meyakini hukum-hukum determinisme sejarah untuk berpikir dan bertindak lebih teroganisir ditingkat grassroot, keyakinan akan lahirnya kekuatan agen kolektif horizontal yang muncul terkondisikan dalam reproduksi sistem sosial-politik yang menindas. Atau dalam artian realitas perlawanan yang muncul secara spontanitas, ekspresi dari kejenuhan politik personal menuju kejenuhan politik kolektif lewat proses peng-organisir-an kesadaran politik ideologis. Mengubah apatisme politik rakyat menuju cita-cita politik ideologis, sembari tetap memupuk kejenuhan politik disisi lain, sebagai sarana penguatan identitas politik kelas.

Politik kelas bukan politik aliran, bukan pula politik sektarian. Melainkan politik yang berbasis ketertindasan, berpijak pada norma-norma keadilan yang hadir secara emasipatif, progresif dan radikalis, dalam menggulingkan sistem politik capital-borjuasi yang selama ini melegitimasi kesenjangan sosial dan penindasan struktural lainnya.

Sebab golput bukan sekadar ‘’kenyataan’’ sejarah, melainkan ‘’keharusan’’ sejarah yang hadir untuk memperantarai munculnya perubahan sistem politik lama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun