Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tanggapan Singkat Atas Isu "Kafir"

2 Maret 2019   22:00 Diperbarui: 2 Maret 2019   22:18 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: suara-islam.com

Dalam kamus hidup saya sehari-hari, saya hanya mengenal dua istilah: penindas atau yang ditindas. Tak peduli dengan kofar kafir yang kalian perdebatkan itu..... . Itu jawaban saya ketika disodorkan pertanyaan dari seorang kawan tentang istilah "kafir" belakangan ini yang ramai diperbincangkan, sejak hasil putusan Musyawarah NU (2019) beberapa hari yang lalu.

Sebab menurut saya, ada yang lebih penting dari sekadar identitas beragama sebagai golongan, yakni semangat sosial beragama itu sendiri dalam mendorong struktur kesetaraan sosial yang berkeadilan.

"Kofar kafir" ataupun penggantian istilah itu lewat penyebutan non-, menurut saya pada intensitas yang berbeda kedua-duanya mengandung proporsi makna yang sama saja. Sebab berangkat dari akar dari cara berpikir yg sama. Yakni sama-sama ingin menarik garis demarkasi secara sosial sebagai sebuah perbedaan golongan (identitas). Lalu apa produktifnya?

Dan ini menurut saya adalah kritik saya kepada semua agama. Atau lebih tepatnya kepada semua institusi agama. Yang pada kenyataannya ikut memproduksi cara pandang yang sama dalam memandang agama lain di luar lingkaran agamanya, dengan menggunakan istilah masing-masing yang dirujuk pada upaya untuk membedakan manusia secara golongan berdasarkan identitas.

Ketika agama diinstitusikan, itu artinya selalu ada kenyataan artifisial bagaimana perbedaan sosial itu selalu ditarik garis demarkasi yang saling membedakan. Sulit untuk keluar dari kenyataan ini, sebagai konsekuensi dari tabiat ormas mencari pengikut. Lalu disitulah kenyataan apa yang disebut simulacra agama dan ormas bercampur lewat penafsiran-penafsiran.

Padahal kalau ditilik agama secara subtansi, maka agama itu sendiri pada dasarnya adalah nilai, yang lebih dekat seharusnya pada upaya untuk mencairkan kehidupan manusia ketimbang mengkotakkan. Sebagaimana hakikat nilai itu sendiri yang mustahil untuk bisa dikotakkan karena sifatnya yang abstrak. Nyatanya, ditingkat sosial  sekarang ini yang dikuasai oleh nalar penginstitusian agama, agama berbalik arah dari subtansinya.

Dititik itulah, agama kehilangan peran sosialnya. Sebab selalu didiskursuskan secara normatif dari sudut pandang perbedaan diferensiasi bukan pada sudut pandang agama sebagai alat perjuangan manusia yang universal untuk memperbaiki keadaan sosial yang timpang.

Konsekuensinya, agama lalu kemudian hanya bisa muncul dalam perbedaan-perbedaan golongan identitas. Tidak pernah berhasil menyetuh level sosial pada upaya untuk memperbaiki struktur sosial yang menindas dan tidak adil.

Satu-satunya cara untuk mengembalikan substansi agama ini adalah dengan mensubsitusikan penafsiran sosial atasnya yang melampaui dari sekadar penafsiran identitas differensial atasnya, yakni masuk pada ranah penindas versus yang tertindas. Dalam kosakata ini semua agama akan ketemu, seperti halnya ketika ia selalu berjumpa pada istilah kebaikan vs keburukan yang universal itu.

Hanya dalam kondisi demikian, agama menurut saya menemukan fungsi sosialnya. Kalau tidak, maka seperti yang terjadi sekarang ini, agama seolah hanya menjadi pengelompokan manusia layaknya gen-gen ataupun komunitas-komunitas identitas saja--tak lebih dari itu. Sebab ia tidak membawa visi sosial konstruktif yang universal dalam mendorong kesetaraan sosial yang berkeadilan melampaui urusan identitas.

Dan terakhir, ada hal yang mesti dibedakan dengan kritis dalam pembincangan ini. Yakni membedakan antara bertuhan, beragama, dan berormas. Ketiga-tiganya bukanlah hubungan mutlak yang wajib kalian satu paketkan begitu saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun