Dengan senjata Anda bisa membunuh teroris.
Tapi dengan pendidikan Anda mampu membunuh terorisme.
(Malala Yousafzai)
Terorisme adalah ajaran. Ia adalah buah radikalisasi pemahaman yang ekstrim dalam memandang kenyataan. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak pun begitu rentang terpapar ajaran demikian. Peristiwa bom berentetan di Surabaya (13, 14 Mei) yang melibatkan satu keluarga yang di dalamnya terdapat anak-anak, menjadi bukti bahwa anak-anak berada dalam pusaran radikalisme.
Kita memahami bahwa di tengah situasi sosial kita yang sakit, murung, penuh arogansi, amarah dan sektarianisme, setiap anak yang lahir di masyarakat yang sakit demikian selalu berpotensi memendam benih sektarianisme identitas yang melekat sebagai hasil interaksi dia terhadap lingkungannya perlahan-lahan.
Ini bisa dikatakan suatu bentuk perkembangan lain dari praktik terorisme itu sendiri, dari melibatkan perempuan hingga melibatkan anak-anak yang masih belia. Ini menyedihkan. Tanpa tindakan yang serius, potensi radikalisasi seperti ini berpotensi terwariskan lintas generasi.
Institusi keluarga dan sekolah, yang mewakili institusi privasi dan institusi publik, cukup fundamental dalam konteks ini untuk bisa mengambil peran dalam menangkal potensi radikalisasi pada anak sejak dini.
Seperti kata Mandela, Tidak ada manusia yang lahir dengan membawa kebencian, orang belajar membenci. Karena itu manusia juga dapat diajarkan bagaimana mencintai. Karena cinta datang secara alami sedang kebencian adalah hasil dari proses belajar yang salah.
Benar, tidak mudah bagi manusia untuk bisa menjadi teroris. Ada proses yang tidak mudah bagaimana manusia meracik kebencian perlahan-lahan. Terakumulasi lalu kemudian pada akhirnya mereka merasakan kekebalan kemanusiaan.
Apa yang disebut Karen Amstrong (2014) memang benar, kekebalan kemanusiaan  membuat manusia mampu menaklukkan rasa takut untuk membunuh. Caranya adalah ketika manusia mampu mengkopuasi kebencian yang dalam terhadap siapa yang ia anggap musuh.
Seorang manusia hanya mampu membunuh ketika ia mampu menciptakan gambaran monster terhadap siapa yang ia anggap musuh. Ia harus meyakinkan diri terlebih dahulu (dalam proses belajar/indoktrinasi yang tidak singkat) bahwa musuhnya bukanlah manusia melainkan monster yang kejam. Gambaran monster ini adalah kebencian yang terakumulasi dalam jiwanya yang sudah cukup dalam.