Data dari Kompas.com (26/12), dilaporkan dari 43.000 media online yang teridentifikasi, hanya 234 di antaranya yang dianggap memenuhi syarat UU pers. Jadi tak heran, kalau lalu lintas informasi medsos kita dikuasai hoax. Pendefinisian kebenaran sebagai kebohongan yang diulang-ulang sepertinya menemukan momentumnya yang pas.
Sepertinya, media sosial kita sampai saat ini belum bisa beranjak dari tiga hal. Orang somplak berbicara, media goblok menuliskan, orang dungu menyebarkan. Nah, lengkap sudah. Makanya, tak heran ketika masyarakat kita juga akhirnya mengidap sejenis sindrom informasi akibat overdosis hoax.
Dan yang paling mengherankan adalah, mereka-mereka yang paling aktif menjadi orang ketiga (penyebar hoax) ini ditengarai adalah mereka-mereka yang mengaku kaum (menengah) nasionalis dan kaum (menengah) religius. Mereka inilah sebenarnya yang tak lain adalah pion dari buzzer-buzzer itu.
Ada semacam sindrom yang sulit saya beri label melihat kenyataan ini. Kalau ada yang disebut postmodernis sebagai masyarakat pascamodernis, postkolonial sebagai masyarakat pascakolonial, dan post-post lainnya. Nah, apakah kenyataan ini boleh disebut post (syndrom) informasi? Sejenis gejala dari masyarakat yang mengalami sindrom ganda atas informasi?
Suatu gejala sindrom di mana mereka lebih mempercayai kebenaran informasi, bukan pada penilaian apakah informasi itu didapatkan dari proses kerja jurnalistik atau bukan. Tetapi apakah informasi itu dibuat dan disebar oleh kelompoknya atau bukan.
Kebenaran informasi menjadi sesuatu yang tersubjektifikasi, bukan terobjektfikasi dalam konteks ini. Kalau informasi itu dibuat dan disebar oleh kelompoknya, dengan sendirinya informasi itu menjadi benar. Sebaliknya pun begitu. Definisi mereka tentang hoax adalah segala bentuk informasi yang disebar oleh bukan kelompoknya.
Nah, kalau lalu lintas pengguna medsos sudah seperti ini, lantas apa guna (lagi) kerja-kerja jurnalistik?
Mungkin jawabannya, bahwa kerja-kerja jurnalistik untuk orang waras. Pertanyaannya, masihkah banyak orang waras yang tersisa dari masyarakat yang terjangkit overdosis hoax? Beberapa di antara teman yang saya anggap waras itu, satu per satu sudah ada yang melepaskan medsos dari genggamannya karena rasa pengap?
Senjakala? Kalau ada yang disebut senjakala jurnalisme koran seperti kata Mas Bre (Wartawan Senior Harian Kompas), apakah ada kemungkinan ada yang kita sebut senjakala medsos, untuk kembali ke koran? Entahlah.
Baru saja saya ingin membaca berita online, saya putuskan membuka media online yang menurut survei paling banyak dibaca. Dan saat saya buka, tak ada satu pun yang saya buka link-nya. Melihat judul beritanya saja, yang bombastis, euforia, berlebihan, dan remeh-temeh sudah terasa gurih layaknya hoax.
Padahal, media-media seperti ini justru satu di antara 234 yang dianggap memenuhi syarat UU pers itu. Nah, kalau yang memenuhi syarat saja sudah seperti ini, bagaimana bisa berharap lebih baik kepada mereka yang dianggap tidak memenuhi syarat?