Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

MOS dan Sisa-sisa Feodalisme dalam Pendidikan

4 Juli 2016   00:40 Diperbarui: 4 Juli 2016   06:33 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: www.dream.co.id

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan baru saja mengeluarkan Permen yang menghapus MOS. Permen No. 18 Tahun 2016 ini, menghapus MOS, yang selama ini dikenal dengan nama Masa Orientasi Siswa (baru), diganti menjadi pengenalan lingkungan sekolah. Isi Permen ini, kurang lebih merupakan penegasan pelimpahan tanggung jawab pengenalan siswa baru terhadap sekolah kepada sekolah itu sendiri, bukan lagi oleh siswa (senior). Seturut dengan ancaman sanksi bagi guru ataupun sekolah yang gagal menjalankan instruksi tersebut. Dengan Permen ini, diharapkan tidak ada lagi siswa baru menghitung semut, menghitung butir pasir, atau bertopi panci ke sekolah.

Kita tentu mengapresiasi Permen tersebut, tinggal menunggu aplikasi dan pengawasannya!

Sisa-sisa feodalisme

Setelah bertahun-tahun, warisan kultur kolonial ini (MOS) sekuat tenaga akhirnya dihapuskan juga secara resmi. Ingat secara resmi! Artinya penghapusan itu ditingkt struktur (aturan), di tingkat kultur hanya bisa dilihat dan dirasakan sebagai sebuah nilai.

Butuh waktu yang cukup lama bagi kita untuk sedikit lebih maju -- kalau toh penghapusan MOS ini ingin dianggap kemajuan -- berusaha untuk meninggalkan sisa-sisa feodalisme dalam pendidikan. Terlihat seperti sebuah langkah yang sulit bangsa ini untuk melepas sisa feodalismenya, termasuk dalam pendidikan. Mos salah satunya.

Dilihat dari sudut pandang perkembangan dunia pedagogi secara global, arah gerak perkembangan politik pendidikan kita menuju alam demokrasi, memang kita akui tergolong lambang. Seturut dengan lambangnya pendasaran penerimaan nilai-nilai demokrasi itu di tingkat pendidikan secara kultural.

Sebagai bangsa yang hidup berabad-abad dalam sakralitas nilai-nilai feodal, ditambah dengan periodisasi sebagai bangsa jajahan berabad-abad, memang tak mudah untuk bangkit menanggalkan tatanan budaya lama yang sangat patenarlistik. Saya teringat istilah kebudayaan 1950-an, yang menyebut bangsa kita saat itu sebagai bangsa yang masih dalam tahap periodisasi menuju ketuntasan revolusi. Dalam arti revolusi belum selesei di tingkat kultural. Kita masih cemas melihat bangsa kita saat itu yang masih “setengah merdeka” sekaligus “setengah terjajah”, meskipun sudah merdeka secara politik.

Karena itu, saat itu, para budayawan yang tergabung dalam berbagai organisasi kebudayaan “memproklamirkan” perlawanan mereka terhadap budaya-budaya feodal dan kolonial yang masih tersisia sejak kemerdekaan, sebagai tugas kebudayaan yang harus dituntaskan lewat pendidikan-pendidikan rakyat. Disinilah sebenarnya istilah revolusi mental itu pertama kali muncul, sebagai sebuah revolusi kebudayaan: membuang sisa-sisa feodalisme secara utuh. Dan pendidikan-pendidikan rakyat diyakini sebagai medium untuk dapat memobilisasi kesadaran itu secara massif.

Dalam konteks ini, saya mencoba melihat bahwa MOS yang berkembang bertahun-tahun lamanya ini, adalah suatu budaya yang sebenarnya merupakan warisan dari nilai-nilai feodal dan kolonial, yang sadar atau tidak, justru dibiarkan disemai bertahun-tahun di tubuh pendidikan. Pun tak terkecuali di perguruan-perguruan tinggi yang ada saat ini.

Lewat MOS, penjajahan mental itu direproduksi. Karena itulah tak butuh rasionalitas dalam MOS, yang dibutuhkan hanyalah otoritas dan ketundukan semata. Ini seperti miniatur dari kehidupan masyarakat yang mencoba diserap ke dalam dunia pendidikan saat itu. Suatu gambaran kehidupan masyarakat yang terbagi dalam penguasaan sebagian yang memiliki otoritas terhadap yang lain. Otoritas-otoritas yang hanya mengkhendaki kepatuhan, menumpulkan kesadaran untuk kritis terhadap kondisi sosial yang timpang, namun akut dipertahankan kemapanannya. Lewat MOS dan berbagai perangkat instrumen pendidikan lainnya, menjadi alat reproduksi nilai-nilai yang dapat mengafirmasi kondisi sosial yang ada saat itu.

Karena itu di tengah perubahan sosial yang berangsur ini, nilai feodalisme mau tak mau akan terus tergerus waktu, ini hanya persoalan lambat atau cepat saja. Demokrasi sebagai anti-tesa feodalisme terus menunggu di depan mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun