Politik yang ditampakkan dari proses tersebut, seperti makhluk berkaki dua, namun berjalan ke arah yang berlawanan. Kepribadian dan ideologi partai semakin tertukar dan kadang-kadang terjerat dalam kebiasaan menukarkan diri dalam deal-deal politik sempit. Saat oposisi tak mampu lagi menahan gejolak mencari posisi.
Politik menampakkan wajah terbalik, ketokohan figur sudah melampaui ketokohan partai. ‘Keangkuhan’ partai yang dipelihara bertahun-tahun seperti dilucuti begitu saja. Tokoh awalnya ‘mengemis’ kepada partai, tampaknya sudah memperlihatkan gelombang terbalik. Itu terlihat dari konstelasi politik Ahok dan partai saat ini, partai-partai yang tak jadi dipinanglah yang berbalik meminang. Partai bukan lagi menjadi kendaraan Sang Tokoh, melainkan Sang Tokoh lah yang menjadi kendaraan partai.
Realitas kejemudan politik dan kejenuhan rakyat atas partai politik, menjadi ladang subur untuk menyemai benih model politik frontal personal. Yang sekarang berada di tangan Ahok. Meraup popularitas tanpa partai, dengan gaya frontal. Mendobrak tatanan santun yang penuh hipokrisi politik.
Meskipun realitas lain, realitas rakyat seperti berada dalam kotak, terkondisikan untuk kehilangan ruang berpikir untuk melihat sisi lain, kefrontalan yang dipersepsi sebagai ketegasan menjadi realitas yang diterima seperti pemberian, meskipun kadang-kadang ketegasan elitis itu berujung pada penghilangan paksa hak rakyat itu sendiri (orang-orang kecil) seperti: buah kebijakan politik penggusuran, dll.
Tapi sepertinya hal seperti itu tidak menarik lagi dibincangkan. Kita kehilangan kacamata lain untuk melihat politik sebagai alat keberpihakan kepada rakyat kecil, di tengah krisis ketokohan politik. Apa boleh buat model politik lama ‘memilih yang baik di antara kemungkinan yang buruk’ masih dipakai.
Seekor kucing yang mengaung seperti singa memang jauh lebih menjadi perhatian menarik bagi rakyat, ketimbang singa besar yang hanya bisa menguap di siang hari.
Namun, suatu hal yang ganjal dan patut jadi perhatian, yakni saat proses politik yang ada, justru tidak mampu menahan realitas pribadi yang tertukar tersebut. Yang cerdas lebih memilih tenggelam dalam hiruk pikuk wacana yang cadas, demi dukungan. Isu SARA seperti: “I am muslim”, china, kafir, kristen, muslim, minoritas, mayoritas, semua menyesaki telinga. Publik seperti digiring dan tergiring dalam proses politik cadas, memilih dan menentukan keberpihakan bukan berdasar pada konkretisasi kepentingan diri, harapan dan nilai, melainkan memilih sekadar karena emosi identitas yang dangkal—wujud hasil pengelolaan isu ambisi para politisi cadas!
Saat seperti inilah, demokrasi, seperti kehilangan makna.
Muhammad Ruslan