Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dhani dan Simbol Politik Hedonisme Partai Agama

11 Februari 2016   03:39 Diperbarui: 11 Februari 2016   04:22 1269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB, berniat mengajukan Musisi Dhani sebagai kontestan, bakal calon penatang Ahok, pada Pemilukada DKI 2017 nanti. Itu tagline, berita-berita di media sosial bermunculan.

Sebuah niatan politik yang digagas dari partai yang mendaraskan diri sebagai “partainya ulama” ini, justru menuai banyak cibiran. Dari cibiran kepada sang tokoh secara personal akan sang bakal calon, hingga merembes ke ranah partai.

Dalam lubuk akal terdalam, saya bertanya-tanya, entah, apa yang terlintas dalam pikiran pembesar-pembesar partai ini, kalau toh itu menjadi keputusan politik yang tersepakati. Seperti halnya kalau saja partai ini, melakukan ritual pengakuan dosa, akan krisis kader yang menimpa partai. Kalaupun isu itu hanyalah strategi politik tersendiri untuk -- mungkin salah satunya -- memetakan kekuatan lawan politik, tapi sungguh sangat naïf dan (maaf sedikit kasar) sangat “murahan”.  

Seperti, ketika isu gonjang-ganjing pencapresan sebelumnya, yang mengusung “Raja Dangdut”, tak salah kalau publik menilai, kalau itu sekadar sensasi politik. Nah, sekarang “Raja Band” yang bergelar “Dewa 19” kembali digocok dengan sensasi yang sama dalam bursa pencalonan. Apakah ini adalah suatu keseriusan politik ataupun sekadar sandiwara politik?. Penulis lebih melihatnya sebagai suatu sandiwara politik semata, untuk tujuan-tujuan politik pragmatis.

Sungguh suatu pratik dan model pembelajaran politik yang menurut saya sangat tidak elok, dipertontongkan oleh suatu partai yang dikenal memegang tradisi Islam kultural. Di tengah harapan (penulis) dan mungkin sebagian rakyat, masih menyimpang harap, bahwa tradisi perpolitikan yang kian bobrok ini bisa dirubah, dengan masih adanya potensi kekuatan politik mencerdaskan yang dapat lahir dari PKB. Suatu tradisi politik yang mengedepankan perebutan pengaruh dan gagasan secara ideologi ketimbang sekadar populisme sesaat.

Upaya untuk mendongkrak reputasi dan elektabilitas partai dengan sensasi politik, hanya terus menggiring partai dalam kubangan kemerosotan, yang mungkin saja “kemerosotan” itu berawal dari cibiran para penduduk media sosial. Seperti yang kita tahu, bahwa penduduk media sosial saat ini adalah suatu kekuatan politik tersendiri, secara konstituten ia di mediasi oleh media sosial sebagai sarana politik tersendiri berebut pengaruh lewat wacana. Justru di era medsos ini, seharusnya partai melihat itu sebagai ruang yang bisa mendorong perkembangan berdemokrasi secara cerdas, bukan sebaliknya memanfaatkannya sebagai media sensasi politik sensasional.

Membiarkan partai bertahan dengan taktik populisme sesaat seperti itu, seperti halnya kalau kita berpikir, bahwa, partai ini masih menempatkan netizen dan rakyat sebagai objek politik yang pasif. Masih mengandaikan pengandaian bahwa netizen dan rakyat secara umum sebagai orang bodoh –- yang bisa dengan mudah dibodohkan--, tidak kritis, dan dengan tingkat kesdaran politik yang rendah, mudah terbuai dalam histeria popularitas berkedok hedonisme politik.

Sebagai rakyat yang hidup di dunia maya (netizen), maupun di dunia nyata, kita harus kritis menyikapi segala upaya pembodohan politik yang terus diproduksi oleh orang-orng yang masih berpikir purba, menganggap kita (rakyat) sebagai objek politik dengan kesadaran politik hedon.

Tugas partai: mematangkan kesadaran politik rakyat

Pada hakikatnya, partai bukanlah sekadar kumpulan orang-orang dengan satu tujuan yakni merebut kekuasaan semata. Jauh dari hal tersebut, partai dibentuk, salah satunya bertujuan untuk mematangkan kesadaran berpolitik rakyatnya, dalam arti mencerdaskan rakyat dalam berpolitik. Partai harus mendorong proses berdemokrasi yang cerdas sebagai tanggungjawab dalam mendorong kematangan kesadaran politik rkayat.

Membuai dan mnjejaki rakyat dengan sensasi politik, sama halnya dengan praktik jual-beli suara yang marak setiap perhelatan pemilu di gelar, tak lain merupakan bentuk-bentuk pembodohan politik yang dilakukan partai. Jadi bukan hanya melanggar hakikat partai itu sendiri, juga melanggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 yang mengatur tentang (fungsi pokok) Partai Politik. Alih-alih mendorong proses pematangan kesadaran berpolitik rakyat, yang terjadi justru sebaliknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun