Seiring ramainya isu korupsi yang terungkap, semua orang menyadari bahwa persoalan korupsi bukanlah persoalan baru dan persoalan biasa, undang-undang pun menyebutnya sebagai ‘’kejahatan luar biasa’’, yang menjadi alasan terbentuknya lembaga superbody KPK. Proses pembentukan kesadaran untuk melawan korupsi selama ini dominan mengandalkan slogan-slogan emosional yakni ‘’korupsi memiskinkan rakyat’’ dengan alasan bahwa korupsi membuat rakyat miskin. Semua orang sepertinya dipaksa untuk ‘’menyadari’’ tanpa ‘’memahami’’ slogan tersebut, korupsi disandingkan dengan terciptanya kemiskinan, dengan menempatkan korupsi sebagai ‘’sebab’’, sedang kemiskinan sebagai ‘’akibat’’.
Tentu patut dilihat terlebih dahulu apa sesungguhnya latar historis munculnya ‘’kemiskinan’’, sekaligus penting memahami ruang lingkup apa yang disebut dengan korupsi dalam perspektif sekarang.
Kemiskinan dalam Konteks Historis-Filosofis
Pijakan dasar untuk berbicara tentang kemiskinan adalah memperbincangkan eksistensi faktor produksi dalam konteks historis. Kemiskinan dipahami sebagai produk sosial, bukan sebagai produk supra-natural bukan pula natural. Disebabkan karena ia adalah produk sosial, berarti eksistensinya pun tidak bersifat absolute, yang menjadi pijakan kenapa kemiskinan harus terus dilawan.
‘’Kemiskinan’’ sebagai produk sosial muncul sbagai fenomena sosial baru atas bergesernya pola hidup sosial masyarakat, dari fase comunal menuju fase liberal-privat. Masyarakat yang kehilangan kepemilikan atas faktor produksi itulah yang kita sebut sebagai kelas miskin, yang berarti kemiskinan adalah wilayah hidup kaum proletar dalam berbagai tipe dan jenjang, yakni sekelompok manusia (kelas) yang kehilangan kepemilikan atas faktor produksi, yang menjajakan seluruh jasa dan hidupnya demi tetap melangsungkan hidup kepada masyarakat yang memiliki faktor produksi, sistem ini coraknya adalah sistem kerja upahan, yang menjadi substansi utama corak hidup masyarakat kapitalisme.
Ini berarti bahwa kemiskinan muncul seirama dengan munculnya kesadaran masyarakat tentang nilai (dikondisikan oleh kenyataan sosial) yang berujung pada penginstitusian hak milik oleh kekuasaan secara paksa. Antara kemiskinan dan kekuasaan tidak bisa terpisahkan, sebagaimana eksistensi kelas yang senjang tidak dapat terpisahkan dengan eksistensi hak milik, dan eksitensi hak milik tidak dapat dipisahkan dengan model dan corak produksi masyarakat dalam konteks sejarah, bagaikan dua sisi koin logam satu sama lain.
Proses ‘’perampasan’’ hak milik yang awalnya komunal (sosial) menuju wilayah privatisasi (individual), sebenarnya adalah bagian dari bagaimana praktik kekuasaan bekerja secara imperial. Perampasan hak milik muncul secara paksa yang domainnya adalah perang (penaklukan), bertahan hingga terbentuknya institusi politik pasca penaklukan sebagai produk konflik untuk mempertahankan status quo kepenguasaan, sehingga ranah ‘’perampasan’’ bekerja secara lebih halus lewat bekerjanya institusi-institusi politik tersebut untuk mempertahankan penguasaan atau dalam istilah modernnya disebut ‘’harmonisasi sosial’’ yang sebenarnya adalah penjinakan kelas.
Proses penjinakan kelas kemudian hadir lewat hegemoni kelas yang mengarah pada pembentukan kesadaran baru yakni pengkaburan kesadaran kelas lewat aparatus-aparatus kekuasaan baik ekonomi, sosial, budaya maupun agama. Proses ini hadir untuk mendefinisikan ulang tentang kebenaran dan nilai, dengan merestrukturisasi model kepemilikan (perdata) yang dilegitimasi sebagai kepemilikan Negara, tanpa menyebut bahwa ‘’negara’’ itu sendiri merepesentasikan kelas sosial tersendiri sebelum terbentuknya. Terbentuknya Negara sekaligus mewadahi terbentuknya fakta kelas sosial baru dalam kerangka borjuis-proletar, hasil penguasaan atas penaklukan dengan tipologi khas yakni masyarakat tertindas yang kehilangan ‘’kesadaran’’ kelasnya secara perlahan-lahan, kenyataan bagaimana kesenjangan kelas semakin menguat tetapi ‘’kesadaran’’ kelas justru semakin melemah. Dalam posisi ini ekeistensi Negara tidak bebas nilai. Sehingga ketika Negara (penguasa) berbicara tentang keadilan, tentang korupsi, tentang kesejahteraan, maka umumnya yang dimaksud adalah keadilan, kesejahteraan hingga korupsi yang masuk dalam wilayah pasar (liberal) yang pijakan kebenarannya adalah wilayah prosedural bukan substantif.
Itu pula sebabnya persoalan kemiskinan sampai detik ini tidak pernah selesei kalau bukan justru membengkak, sebab kemiskinan berada dalam ranah kelas, yang justru penyeleseiannya diserahkan kepada institusi politik yang pada dasarnya merepresentasikan kelas sosial tersendiri, yang berkepentingan terhadap penguasaan faktor produksi. Kalau kita melihat tingkat akses kepemilikan faktor produksi (dari dulu sampai sekarang) mulai tanah, sawah, tambang dll faktanya lebih dominan dimiliki oleh kelas penguasa baik yang ranahnya politik sebagai pengambil kebijakan politik maupun yang ranahnya ekonomi yang memiliki kekuasaan untuk mendesain kebijakan politik.
Hasil penelitian Stamford Rafles salah seorang gubernur pertama era kolonial belanda di jawa menyebut bahwa sebelum belanda mausuk ke nusantara pola kepemilikan tanah telah terpusat pada bangsawan (pejabat politik) lewat kekuasaan politik feudal (T. Muray Li: 2012 ). Sehingga dapat dipahami bahwa masuknya penjajahan Eropa ke Nusantara hanya memperantarai kekuasaan politik bergeser dari penguasa lokal ke bangsa Eropa, ini hanya pergeseran politik tanpa ada perubahan terhadap ranah sosial-ekonomi. Dalam artian sejak sebelum fase penjajahan pun masyarakat kita telah tertindas (miskin) di fase berjayanya politik feodal. Itulah sebabnya para pahlawan yang dinobatkan hari ini sebagai pahlawan kemerdekaan dominan merepresentasikan kelas sosialnya sebagai bangsawan, yang pada dasarnya berkepentingan terhadap status quo kekuasaan sebelumnya. Yang mengeksploitasi identitas primordial rakyat proletar untuk memberontak atas nama ‘’kemerdekaan dan kesejahteraan’’, meski kenyataannya sejak fase ‘’kemerdekaan’’ sampai sekarang tetap saja proletar tetap proletar, sebab untuk konteks lain kemiskinan direproduksi oleh kekuasaan lewat kebijakan. Bukannya mengembalikan tanah rakyat yang terjadi justru perampasan tanah ulayat dan tanah rakyat secara massif oleh Negara untuk kepentingan pasar. Liberalisasi pasar lahan sesungguhnya adalah kebijakan kolonial masa penjajahan bangsa Eropa untuk merampas tanah-tanah ulayat rakyat, salah satunya dengan cara membeli dengan harga murah hingga pendudukan secara paksa. Dan kenyataannya sampai hari ini pun kebijakan yang sama terus dipertontongkan lewat perangkat kekuasaan (terakhir lewat RUU pertanahan yang berwatak liberal).
Disni letak bagaimana kekuasaan hadir secara paksa dengan memposisikan secara dogmatis aturan dan undang-undang dengan sifat memaksa. Meski aturan itu sendiri adalah produk politik yang disepakati oleh orang-orang politik.
Disebabkan karena kekuasaan lewat institusi politik yang mendefiniskan kebenaran lewat reproduksi nilai dan norma, itulah sebabnya anomali dalam kerangka kekuasaan seperti halnya perampasan dan penghisapan kelas tidak pernah disebut sebagai sebuah penyimpangan terhadap nilai. Sebab selama perampasan masuk dalam ranah prosedural yang ditetapkan kekuasaan, maka hal tersebut tetap sebagai sebuah kebenaran. Kebenaran dalam perspektif kekuasaan, sekali lagi hadir secara prosedural.
Korupsi dalam Perspektif Kekuasaan
Dalam perspektif kekuasaan, kekuatan untuk mendefinisikan perilaku khususnya perilaku hukum terletak pada eksitensi teks, sebagai wujud simbolisasi kedaulatan hukum yang diposisikan sebagai mandatoris dari konsensus sosial-politik. Kebenaran ada pada teks, meski tetap melibatkan penafsiran, penafsiran dalam kerangka kekuasaan, sebagaimana hukum adalah perangkat kekuasaan yang diciptakan lewat kekuatan politik (konsesus).
Sehingga untuk mendefinisikan ‘’korupsi’’ dan ruang lingkupnya maka pijakannya adalah posisi kekuasaan, dalam artian segala bentuk ‘’perampasan’’ yang disebut sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang berujung pada penggelapan uang yang disinyalir merugikan Negara, maka itulah yang disebut sebagai korupsi. Biasanya yang dimaksud merugikan negara adalah penafsiran yang mengarah pada tindakan non-prosedural yang dilakukan (untuk konteks sekarang) individu untuk kepentingan pribadi.
Korupsi masih dan hanya selalu dipersepsi sebagai khendak individu, buktinya yang dijerat dengan pasal korupsi sampai hari ini hanyalah wilayah personal. Belum mengarah pada keberadaan tindakan kelompok (buktinya belum ada komunitas yang dibubarkan atas nama korupsi), apa lagi untuk mengharapkan pendefinisian korupsi mengarah pada kerangka kelas, untuk konteks sekarang hal tersebut terkesan tabu kalau bukan utopis. Sebagaimana paradigma liberal kapitalisme berpijak pada eksistensi indidvidu, maka metode kebijakan pun selalu terkotak pada ranah individu, baik misalnya kenyataan kesejahteraan hanya milik segelintir individu hingga penegakan sanksi hanya berputar pada poros personal semata.
Pertanyaannya adalah bagaimana menjelaskan hubungan antara korupsi dengan kemiskinan?. Sampai hari ini satu-satunya argumentasi yang mengemuka adalah ‘’karena korupsi merampas hak rakyat, kita miskin karena uang yang seharusnya masuk kekantong kita justru masuk kekantong pejabat secara tidak prosedural’’. Kurang lebih seperti itulah asumsi yang selama ini dibangun.
Ranah makna ‘’perampasan’’ terkerdilkan dalam ranah prosedural, yang bersifat birokratis dan individualis. Sehingga korupsi dipandang dalam kerangka moral, sebagai bentuk tindakan amoralis, yang dalam istilah hukum disebut ‘’oknum’’. Sanksinya adalah penjara, sebab pejara identik dengan kumpulan manusia amoralis secara individual, yang pendefinisian tentangnya berada dalam ranah hukum positif, kekuasaan tekstual.
Pendefinisian tentang ‘’penyimpangan’’ sebagaimana ‘’perampasan’’ adalah apakah tindakan tersebut prosedural atau tidak. Sehingga ketika uang rakyat mengalir dan mengendap lewat pengadaan mobil mewah para pejabat, selama itu disepakati (oleh pejabat itu sendiri) secara prosedural, maka itu adalah kebenaran dalam perspektif kekuasaan, bukan anomali apalagi perampasan (korupsi). Gayus dihakimi korupsi sebab pada dasarnya hanyalah karena tidak melibatkan pelaku kekuasaan untuk menyepakati bahwa tindakan tersebut prosedural.
Untuk konteks sekarang tidak ada relevansi yang jelas antara korupsi yang didefinisikan kekuasaan dengan kenyataan kemiskinan yang terjadi secara massif dalam masyarakat. Sebab kemiskinan tidak dapat dilihat dalam kerangka birokratis kekuasaan, melainkan harus dilihat dan dianalisis dalam kerangka kelas yang jelas. Entah, para pejabat korupsi atau tidak, tetap saja penghisapan kelas itu berlangsung yang berarti proletar tetap saja akan miskin, dan kemiskinan akan terus ada. Tidak ada jaminan bahwa uang digelapkan secara non-prosedural itu akan masuk kekantong rakyat kecil, sebab non-prosedural dapat diubah menjadi prosedural itu hanya kesepakatan politis saja. Kalau saja misalnya pijakan dasar untuk mendefinisikan korupsi ada pada ranah ‘’merugikan rakyat kecil’’ yang dilihat dalam perspektif horizontal, seharusnya proyek-proyek mercusuar seperti pembangunan sport center, pasar modern, rumah mewah pejabat dll, ditengah kemiskinan yang mencekik, seharusnya dipahami sebagai korupsi atau perampasan hak pula, tetapi itu tidak dikatakan korupsi karena hal tersebut dipersepsi sebagai sesuatu yang proseduralis.
Dalam hal ini pendefinisian tentang anomali seperti korupsi oleh persepektif kekuasaan terjebak pada ranah relatifisme. Tidak ada ketetapan makna yang jelas, selain bahwa kemiskinan dan ketidakadilan harus dianalisis lewat pendekatan kelas. Pendekatan kelas satu-satunya metode untuk membongkar ketidakadilan dan menemukan serta memetakan makna ‘’perampasan’’ itu sendiri. Sebab singkatnya selama masih ada kesenjangan maka selama itu pula sistem yang hadir adalah menindas dan dzalim, itu berarti korupsi (perampasan) terus terjadi dalam berbagai sisi. Persoalan kemiskinan sesungguhnya sederhana untuk melihat terletak pada bagaimana model kepemilikan faktor produksi bekerja dalam masyarakat.
Korupsi sebagai normativitas nilai yang bertendensi pada makna ‘’perampasan’’ hak, hanya dapat menemukan makna sejatinya ketika ia dilihat dalam perspektif kelas sebagai bentuk penghisapan kelas borjuasi terhadap proletar. Melampaui dari pendefinisian nilai yang berpangkal pada pijakan proseduralis semata. Sehingga hanya dengan konsepsi tersebut korupsi dapat ditemukan titik persinggungannya dengan kenyataan terjadinya kemiskinan lewat pemiskinan struktural kelas.
Untuk kenyataan hari ini, isu korupsi tak ubahnya hadir sebagai pengetahuan dogmatis belaka yang hadir sebagai produk ‘’penggorengan isu’’ untuk kepentingan politik yang dimainkan oleh para pemburu kekuasaan, dalam panggung sandiwara politik. Melawan korupsi untuk kesejahteraan rakyat tak ubahnya adalah slogan politik hampa, selama korupsi masih dilihat dalam perspektif birokrasi kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H