Membaca sejarah politik bangsa setidaknya dapat dibagi dalam 3 corak politik yang dominan. Politik ideologis sebagai corak politik yang mengemuka dapat dilihat pada menjelang kemerdekaan hingga masa orde lama. Sinergitas identitas ideologis partai bersinergi dengan figur-figur partai yang dilihat dari penguatan wacana serta gagasan yang dibangun. Perbedaan partai, seperti halnya perbedaan figur begitu mencolok yang dilihat dari ideologi partai yang merembes ke ideologi figur. Mulai yang islamis-reformis dan anti kolonialis, nasionalis-progresif, hingga sosialis-demokratik, puncak ‘’persinggungan’’ gagasan menemukan titik klimaks pada saat perdebatan perumusan ‘’dasar negara’’, hingga akhirnya keluar ‘’pancasila’’ sebagai kesepakatan politik, arus konfensi titk temu ideologi. Perdebatan gagasan ideologis parpol menjadi instrumen politik yang mengemuka, bukan perdebatan hingga saling serang politik personal yang berujung pada penggorengan isu-isu murahan (black campaign personalitas) seperti yang mengemuka hari ini sebagai satu-satunya dagangan politik yang mengemuka.
Pada era menjelang kemerdekaan terlihat kuat eksistensi partai hadir sebagai sebuah gerbong ideologis, timbul-tenggelam sering dengan kekuatan represif kolonial. Pada masa tersebut partai muncul sebagai kekuatan kolektif ideologis yang teroganisir, yang jauh dari semangat populisme, merepresentasikan sebagai ideologi perjuangan. Motif ideologi merupakan landasan pokok terbentuknya partai secara kolektif. Berbeda dengan sekarang, partai politik tidak hanya terbentuk untuk mempertahankan kepentingan segelintir borjuis dalam mempertahankan kepenguasaan terhadap akses produksi atau paling tidak menjadi kendaraan politik untuk penguasaan akses produksi lain, tetapi juga dibentuk oleh ambisi kekuasaan subjek yang jauh dari semangat kolektifisme ideologis. Partai bukannya terbentuk oleh kolektifisme ideologis melainkan dibentuk oleh orang per-orang yang ditopang oleh kekuatan modal semata, yang menemukan momentumnya pada kekecewaan politik pragmatis.
Pembentukan partai yang dilakoni oleh individu yang memiliki aksesibilitas modal yang kuat justru menggeser identitas partai dari organisasi massa menjadi sebuah korporasi privat, yang didalamnya jauh dari semangat horizontal, menjadikan partai sebagai komoditas elit-hirarkis yang berwatak feodal, yang bertumpu pada eksistensi citra, modal dan penguasaan akses faktor produksi politik ‘’pemilik ‘’partai,yang biasanya menempatkan diri sebagai ketua umum partai. Istilah’’pemilik’’ partai merupakan antitesa dari semangat ideologis partai yang menempatkan rakyat sebagai pemilik partai lewat ideologi partai yang kuat berpihak pada rakyat. Sehingga alih-alih melembagakan ideologi lewat partai, yang terjadi hanyalah penginstitusian kepentingan subjek minoritas. Dalam kontes ini eksistensi partai hadir dari ‘’atas/elit’’ borjuis, bukannya lahir dari ‘’bawah/rakyat/sipil’’, sehingga muatan bias elitisnya pun lebih dominan ketimbang ideologis-grasroot-nya.
Dalam konteks itulah untuk diterima ditingkatan grassroot, partai kemudian mereproduksi ‘’pembohongan’’ publik secara massif. Sampai detik ini tak satupun partai yang melegitimasi dirinya dengan ideologi liberalisme atau neoliberalisme, akan tetapi sejak orde baru hingga orde paling baru hari ini (baca: reformasi) yang terlihat dengan kasat mata hanyalah kebijakan-kebijakan neoliberalisme yang massif, menggadaikan Negara pada korporasi, hingga penggodokan RUU yang berwatak liberal dari berbagai sektor. Liberalisme menjadi pilihan politik bukan hanya karena liberalisme memberi banyak keuntungan bagi pemilik partai yang dominan sebagai pengusaha merangkap penguasa, tapi juga telah menjadi cara berpikir sendiri bagi pengusaha untuk mencapai ilusi cita-cita akan kesejahteraan kolektif. Dalam konteks ini Negara ditangan pengusaha akan diperlakukan layaknya perusahaan yang dikelola dengan perinsip-prinsip bisnis. Meski pada hakikatnya tetap saja bahwa Negara bukan perusahaan, ini menjadi alasan akademis mengapa menurut Paul Krugman (2010): kita harus berhati-hati terhadap pengusaha yang akan mengelola Negara, sebab pengelolaan Negara yang bertumpu pada prinsip distribusi berbeda dengan korporasi yang berkiblat pada akumulasi.
Politik Partai
Transisi dari politik ideologis berakhir seiring masuknya Orde Baru. Politik partai yang menguat justru hadir dengan wajah non-demokratis, politik partai dijalankan secara otoritarianisme hingga militeristik. Partai sekadar menjadi mesin produksi represif lewat kekerasaan politik hingga pembungkaman ideologis. Partai berada pada cengkeraman kekuasaan ala soehartoisme yang mencitrakan diri layaknya pancasilaisme yang mengendalikan keseluruhan dinamika politik kekuasaan otoriter. Politik partai dalam masa ini hadir dengan kekuatan ‘’memaksa’’ sebagai cara untuk melibatkan dan mengendalikan rakyat dalam politik partai, atau pendeknya memilih partai berkuasa sebagai satu-satunya pilihan politik rakyat tanpa harus menilik figur atau tanpa harus memahami sinergitas figur dan partai secara ideologis.
Politik partai yang seharusnya hidup dari watak ideologis, justru sekadar menjadi aksesoris dari perjalanan hidup demokrasi. Pemilu menjadi sekadar stempel basah legalitas formil demi untuk mempertahankan predikat sebagai Negara demokrasi, meski corak demokrasi dikendalikan secara militeristik, sentralistik hingga represif. 32 tahun politik borjuasi militeristik ini berjalan, meski akhirnya tumbang pula. Bayang-bayang dosa politik Golkar sebagai partai politik, masih terngiang dibenak masyarakat, yang menjadi salah satu sisi sebab, kepercayaan atas partai bergeser pada figuritas, memperantari popularitas munculnya politik figur.
Reformasi dan Politik Figur
Akumulasi kegelisahan politik yang terbelenggu selama 32 tahun, menemukan momentum pemberontakan sporadic dan spontan, pemberontakan yang terkesan tergesa-gesa akan phobia ORBA hanya berakhir pada penggulingan figur semata, yang mengantarkan kita pada era reformasi yang kita kenal sekarang ini. Cita-cita kebebasan yang mengemuka dominan meluap-luap (meski hanya itu pula yang bisa dibilang prestasi), kebebasan yang meluap-luap memperantarai menjamurnya partai yang mengusung gagasan universalitas yang terbilang sama, pada kenyataanya tetap meninggalkan lubang ketidaksejahteraan yang menganga. Para aktivis reformasi maupun sisa-sisa ORBA terlihat duduk mesra berdampingan di parlemen reformasi, para partai reformis hingga partai ORBA, hingga partai yang memiliki relevansi historis dengan ORLA kelihatannya begitu antusias mengirimkan satu persatu kadernya ke rutan KPK. Muatan kontradiktif menjadi prilaku dominan politik yang terus terngiang dan terlintas di mata rakyat, bagaimana partai dengan slogan ‘’wong cilik’’ sekalipun harus mempertaruhkan slogan partainya dengan kebijakan liberalisasi asset Negara, kondisi ini sama halnya bagaimana partai yang menggunakan simbol-simbol kesucian Tuhan berakhir dengan kasus pengkortiran pengadaan kitab suci, prilaku tidak senonoh para kadernya, atau kemewahan koleksi mobil hingga koleksi artis para kadernya.
Sistem politik yang penuh kompetisi dengan ruang publik yang semakin terbuka lebar tetap saja belum mampu menembus sisi elitisme parpol, tak pula mampu menelurkan kebijakan-kebijakan pro rakyat secara rill, yang terlihat hanyalah prilaku kekanak-kanakan di parlemen, atau kontradiksi yang terjadi antara gagasan pro rakyat dengan pro partai. Kondisi ini melahirkan ketidakpercayaan politik disatu sisi, yang menciptakan 2 model arus ketidakpercayaan politik yang mengemuka yakni: lahirnya sikap apolitis-kritis yang lebih akrab disebut golongan putih (golput), dan sikap politik moderat lainnya yang menjadikan figur sebagai kredo keimanan untuk tetap percaya atas sistem politik yang ada, lahir istilah politik figur. Politik figur yang muncul merupakan bentuk respon politisi terhadap kegelisahan rakyat yang terus menrustergerus kepercayaan politiknya terhadap partai politik.
Dalam konteks politik figur, figur menjadi komoditas partai yang menjadi penghubung dengan rakyat atau menjadi ‘’pemikat’’ untuk menarik perhatian rakyat. Pertanda bahwa menguatnya politik figur hari ini menjelaskan bahwa partai di mata rakyat diambang krisis kepercayaan, yang hakikatnya berpangkal pada krisis ideologi partai. Kini sistem demokrasi semakin mengerucut masuk pada tatanan personalitas lewat politik figur, politik tidak lagi menjadi arena perjuangan kolektif. Rakyat terus tereksploitasi oleh populisme demokrasi massa mengambang yang berpusat pada figur yang terus digelembungkan oleh eksistensi media.
Bagaikan balon-balon sabun yang terus menggelembung, mengandung resiko politik yang rapuh. Cepat mengambang juga cepat meledak tanpa jejak. Sehingga potensialitas politik figur hanya menjadi letupan-letupan demokrasi yang menggandaikan suara dan harapan berakhir dalam angan-angan. Sebab berbicara politik kekuasaan, ranahnya adalah sistem. Otoritas figur selalu tenggelam dibalik otoritas sistem. Belum lagi demokrasi yang ‘’katanya’’ presidensial hari ini, meski bercorak parlementer yang menguat, menempatkan parlemen sebagai poros kekuatan utama yang menentukan percaturan politik termasuk kebijakan politik. Parlemen bukanlah kumpulan indvidu yang terpisah satu sama lain melainkan otoritas aktualitas kekuasaan partai yang terus menerus berada pada titik tarik menarik kepentingan partai. Menyulapnya menjadi koalisi sekalipun tidak mengubah khittah parlemen sebagai kumpulan gerbong politik partai. Kasus Lily Wahid menjadi kenyataan bagaimana khendak indvidu yang muncul dalam parlemen harus terdepak sebagai wakil rakyat karena bertentangan dengan khendak partainya (PKB), atau kasus Risma (walikota surbaya) baru-baru ini menanggalkan riak khendak otonom untuk mengundurkan diri berlalu begitu saja pasca bertatap muka dengan sang ketua umum partai. Kenyataan ini menguatkan isu-isu tentang figur adalah ‘’boneka’’ partai mendapatkan pembenaran untuk memahami bahwa kekuasaan partai jauh lebih kuat ketimbang khendak otonom subjek figur.
Fenomena Jokowi, Sentralitas Politik Figur
Fenomena Jokowi yang mengemuka detik ini bisa terbilang sebagai sentralitas politik figur. Bukan karena Jokowi ‘’independen’’ atau non-partai, tetapi pembacaan masyarakat yang terkesan tertarik pada Jokowi bukan karena identitas partai yang melekat pada Jokowi, melainkan karena figur, kepribadian yang menguat lewat aksi politik blusukan dan karakternya yang khas terbilang non-eltis. Dalam posisi ini aksi politik koboi Dahlan Iskan terbilang tenggelam oleh politk blusukan Jokowi.
Masyarakat menilai Jokowi dari sisi figur bukan dari identitas partai, itu sebabnya keterlibtan Jokowi dalam kampanye Rieke misalnya tidak membuahkan hasil yang sesuai target. Begitupula halnya menjadikan Jokowi capres 2014 sebagai ‘’gadaian’’ partai (PDIP) untuk mendongkrak elektabilitas kemenangan partai pada pileg mendatang, jelas bukan pilihan yang betul-betul tepat. Sebab sekali lagi jokowi memunculkan kesan sebagai pribadi bukan sebagai kader partai.
Proses menggelembungnya Jokowi di mata masyarakat ditopang oleh posisi politik yang strategis, yakni berhasil mengalihkan persepsi politik masyarakat dengan secuil harapan, lewat politik non-elitis yang terus menerus dijadikan sebagai tindakan politik ditengah kejenuhan masyarakat akan politk elitis yang terkesan berpisah dengan rakyat dengan jarak yang jauh. Meski politik non-elitis harus kita akui tidak menjamin bahwa kesejahteraan disisi lain yang menjadi tujuan politik tercapai, tapi paling tidak politik non-elitis tersebut cukup ampuh menjadi pill penenang sementara, memperpanjang rasa tenang sementara masyarakat, meski tidak akan berumur lebih panjang apa lagi permanen. Terbukti kehidupan masyarakat Solo, dan Jakarta yang belum terbilang berada diambang batas rata-rata kesejahteraan,tidak serta merta mengkendurkan populisme Jokowi. Tetapi hal yang pasti bahwa masa ‘’kepercayaan’’ tersebut sedikit demi sedikit berlalu, dalam artian peluang untuk membuktikan kinerja tidak berada pada range waktu yang panjang lagi, untuk melihat bagaimana respon yang rill dari masyarakat, ketika pill penenang tidak lagi ber-efek, akan menemukan kembali momentum ‘’ledakan’’ gelembung politik akan meledak, yang berakhir dengan ‘’JokoWow..!’’. Kondisi lain yang cukup mengkortir masa ‘’kesabaran’’ rakyat tersebut adalah Jokowi membatalkan diri atas ‘’puasa’’ politik pencapresan 2014, yang sebelumnya menjadikan ‘’nda mikir, nda mikir’’ sebagai lafas niat puasa politik Jokowi, untuk menuntaskan Jakarta.
Hubungannya dengan partai, kehadiran Jokowi dalam PDIP yang bermodalkan popularitas massa mengambang tadi, bagaikan buah durian bagi PDIP sendiri, yakni manis sekaligus berduri menusuk jantung patronase politik kekeluargaan yang mencoba dibangun dan dipertahankan sendiri Megawati. Reposisi posisi ‘’manis dan berduri’’ itulah yang awalnya munculkan riak Jokowi berpasangan dengan salah satu anak Megawati yang sekaligus kader partai, pembacaannya untuk tetap mempertahankan kekuasaan patronase politik tetap berlanjut. Sebab satu-satunya nilai berharga bagi partisipan dari partai moncong putih ini adalah figur historisitas soekarno, yang terus mencoba untuk dipelihara meski itu lewat simbolisasi kekeluargaan lewat pengkomodifikasian keluarga dalam partai, meski ideologi justru terkadang tercampakkan, kenyataan bahwa ideologi memang bukanlah perkara genetic.
Pilihan untuk memberi ruang politik luas bagi Jokowi bukan sekadar bentuk hasil kalkulasi politik pragmatis yang matang ditubuh partai, tapi ini lebih mengarah pada ‘’paksaan dan tuntutan’’ rakyat. Menjadikan pilihan memberi restu politik pada Jokowi merupakan bentuk ‘’penyanderaan simbolik’’ rakyat terhadap kekuasaan Megawati terhadap partai. Untuk menggambarkan secara simbolik kabar angin (kalau bukan survey politik) popularitas Jokowi terbilang lebih populis ketimbang ketua partainya sendiri.
Meski kenyataannya lewat tampakan-tampakan bahasa politik Jokowi akhir-akhir ini, memunculkan pesimisme politik kemandirian Jokowi disisi lain. Bukan hanya bahwa isu pencapresan Jokowi menjadi fenomena politik instan, sembari mengabaikan warna konsep politik apa yang akan dibawa kedepannya?. Yang paling menonjol adalah bayang-bayang politik Megawati terkesan lebih kuat ketimbang otonomi politik Jokowi sendiri. Hingga munculnya pernyataan-pernyataan politik Jokowi yang meng-afirmasi sisi ‘’gelap’’ pemerintahan megawati sebelumnya sebagai sebuah afirmasi kewajaran menguatkan riak pesimisme politik akan Jokowi.
Meski hal tersebut, kenyataan kebanyakan rakyat masih lebih menaruh harapan sementara kepada sosok Jokowi, meski tetap mengundang tanda tanya besar akan kapabilitas ideologis bagaimana yang akan dibawa kedepannya?, bagi rakyat mungkin jauh lebih baik meletakkan pengharapan pada sosok yang terlihat ‘’ceking’’ kalau bukan ‘’lugu’’, ketimbang berharap tentang sesuatu yang tak pasti ditangan para mantan pelaku kejahatan HAM, kepada sisa-sisa politik Orde Baru, atau kepada politisi yang telah menghadiahi rakyatnya dengan lumpur panas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H