Mohon tunggu...
Vincentius Farrel
Vincentius Farrel Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar SMA

Pelajar SMA biasa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Misa: Kewajiban atau Kesadaran?

18 September 2024   23:12 Diperbarui: 18 September 2024   23:48 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Misa Jumat di Kolese Kanisius sudah menjadi bagian dari kehidupan sekolah, setidaknya sejak saya di kelas 7. Ini adalah kegiatan wajib yang diadakan setiap minggu dan dimaksudkan untuk membantu kami, para siswa, mendalami nilai-nilai spiritual serta memperkuat karakter. Tapi, meskipun sudah berjalan bertahun-tahun, masih banyak teman-teman yang memilih untuk bolos, menganggap misa sebagai rutinitas yang tidak penting. Hal ini membuat saya berpikir, apakah misa memang dianggap kurang relevan di kalangan siswa, atau mungkin kita belum sepenuhnya memahami tujuan sebenarnya?

Bagi saya, Misa Jumat bukan sekadar kegiatan rutin yang dilakukan hanya karena diwajibkan. Misa ini adalah momen untuk merenung dan mengambil jeda dari kesibukan sekolah yang sering kali membuat kita terlalu fokus pada akademik. Di Kolese Kanisius, nilai-nilai seperti Competence, Conscience, Compassion, Commitment, dan Leadership (4C1L) adalah hal yang terus ditanamkan, dan misa menjadi salah satu cara sekolah untuk membantu kami mendalami nilai-nilai tersebut. Misalnya, Conscience, kesadaran moral yang bisa diasah saat kita diajak untuk merenungkan hidup kita dan bagaimana kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik terutama melewati examen. Selain itu juga ada Compassion, rasa empati terhadap sesama juga bisa tumbuh saat kita bersama-sama beribadah, mendoakan mereka yang membutuhkan.

Sayangnya, banyak dari murid Kolese Kanisius mungkin melihat misa hanya sebagai "acara wajib" tanpa benar-benar menghayati maknanya. Padahal, misa bisa menjadi momen refleksi di tengah kesibukan sekolah, membantu kita memperkuat Leadership dalam mengatur diri sendiri dan Commitment dalam beragama. Pemimpin yang baik bukan hanya soal kecerdasan, tapi juga soal moral dan empati. Ketika kita memahami ini, kita bisa mulai melihat misa sebagai momen untuk memperbaiki diri, bukan hanya sebagai formalitas belaka. Saya rasa, jika kita bisa lebih memahami tujuan dari misa, lebih banyak dari kita akan menghargainya dan menjadikannya bagian penting dalam pembentukan diri.

Misa Jumat di Kolese Kanisius telah diadakan secara rutin setidaknya dalam lima tahun terakhir. Setiap Jumat, seluruh siswa diwajibkan untuk ikut dalam kegiatan ini. Namun, berdasarkan pengalaman pribadi saya sejak SMA terutama, masih ada banyak siswa yang lebih memilih bolos, dengan alasan misa dianggap membosankan atau tidak penting bagi mereka. Data dari beberapa sumber pendidikan menunjukkan bahwa kegiatan spiritual seperti misa dapat membantu mengurangi stres, meningkatkan empati, dan memperkuat nilai-nilai moral, dan dari saya sendiri memang hal tersebut terjadi karena saya diingatkan lagi adanya Tuhan yang selalu membantu saya dan bukan hanya saya sendiri dalam hidup ini yang menanggung segala masalah.

Saya yakin, meskipun banyak siswa yang masih melihat misa sebagai sesuatu yang membosankan, tradisi ini akan terus dijalankan di Kolese Kanisius. Mengapa? Karena misa adalah salah satu cara paling nyata untuk menanamkan nilai-nilai 4C1L dalam diri kita. Di masa depan, saat tantangan hidup semakin kompleks, nilai-nilai 4C1L justru akan semakin penting. Misa Jumat juga memberikan kita kesempatan untuk terus mengembangkan sisi spiritual yang mungkin tidak bisa kita dapatkan dari pelajaran akademik sehari-hari.

Jika kita menganggap misa hanya sebagai kewajiban yang tidak berarti, itu sama saja seperti menganggap olahraga hanya sebagai kegiatan yang melelahkan dan tidak menyenangkan. Padahal, seperti halnya olahraga yang menjaga tubuh tetap sehat dan kuat, misa juga menjaga "kesehatan" jiwa kita. Sama seperti tubuh yang butuh olahraga rutin agar tetap bugar, jiwa kita juga butuh refleksi spiritual agar tetap seimbang dan tidak mudah goyah di tengah tekanan. Jika kita hanya fokus pada akademik dan melupakan pentingnya spiritualitas, itu seperti membangun gedung tinggi tanpa pondasi yang kokoh, pada akhirnya, gedung tersebut akan mudah runtuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun