Kitab Kejadian 9:24-27, yang dikenal sebagai "Kutukan Ham," telah menjadi salah satu teks Alkitab yang paling sering disalahartikan sepanjang sejarah. Meskipun teks ini telah digunakan oleh beberapa kelompok untuk membenarkan perbudakan dan diskriminasi rasial, pemahaman yang lebih mendalam dan akurat menunjukkan bahwa interpretasi tersebut tidak berdasar. Dalam artikel ini, kita akan menelusuri asal-usul dan penafsiran yang salah dari teks ini serta dampaknya terhadap perbudakan dan diskriminasi.
"Kutukan Ham" menurut Alkitab
Setelah peristiwa air bah, Nuh membuat kebun anggur dan meminum anggur itu yang membuatnya menjadi mabuk dan tertidur telanjang di tendanya. Ham, salah satu dari tiga putra Nuh melihat ayahnya dalam keadaan ini dan menceritakannya kepada dua saudaranya, Sem dan Yafet. Sebagai respons, mereka menutupi ayah mereka tanpa melihatnya. Ketika Nuh bangun dan mengetahui apa yang terjadi, dia mengutuk Kanaan, putra Ham: "Terkutuklah Kanaan; Ia akan menjadi hamba yang paling hina bagi saudara-saudaranya. Diberkatilah TUHAN, Allahku, Sem; dan biarlah Kanaan menjadi budaknya. Semoga Allah memberi tempat bagi Yafet, dan membiarkan dia tinggal di kemah Sem; dan biarlah Kanaan jadilah budaknya." (Kejadian 9:10-27).
Sebelumnya, walau dari namanya yakni "Kutukan Ham", kutukan tersebut sebenarnya diberikan pada salah satu anak dari Ham yaitu Kanaan dan keturunan dari Kanaan (Garrett Kell, 2021).
Bagaimana "Kutukan Ham" disalahartikan?
Beberapa teolog dan pemimpin Kristen di masa lalu menggunakan kutukan ini untuk membenarkan perbudakan orang berkulit hitam, dengan menyatakan bahwa keturunan Kanaan adalah orang Afrika dan karena itu layak untuk dijadikan budak. Ini adalah interpretasi yang sangat problematis dan tidak berdasar secara bukti nyata.Â
Salah satu contoh dari pernyataan tersebut dinyatakan oleh Alexander Stephens, wakil presiden Konfederasi Amerika, dalam "Cornerstone Speech" menyatakan bahwa orang berkulit hitam secara alamiah cocok untuk menjadi budak karena kutukan terhadap Kanaan, anak dari Ham (Zondervan Academic, 2022). Robert Lewis Dabney, seorang teolog Kristen Presbiterian  pro-perbudakan, bahkan berpendapat bahwa perbudakan adalah sarana untuk memperkenalkan agama Kristen kepada orang Afrika, yang dianggapnya lebih rendah secara moral dan intelektual (Zondervan Academic, 2022).Â
Beberapa pandangan ini tidak hanya salah secara teologis, tetapi juga mendalamkan rasisme dan ketidakadilan antar manusia. Hal ini disebabkan karena pemahaman yang keliru dan penyalahgunaan teks Alkitab. Kutukan Nuh sebenarnya ditujukan kepada Kanaan, anak Ham, bukan Ham sendiri, dan tidak menyebutkan ras atau warna kulit. Penafsiran yang mengaitkan kutukan ini dengan kulit hitam dan perbudakan muncul jauh kemudian sebagai alat justifikasi untuk praktik perbudakan di dunia. Interpretasi ini bertentangan dengan konteks asli cerita dalam Alkitab yang tidak memiliki unsur rasial atau pembenaran perbudakan (George Ogalo, 2023).
Bantahan "Kutukan Ham" sebagai alasan perbudakan dan diskriminasi
Konsep perbudakan dalam konteks Alkitab sangat berbeda dengan perbudakan berdasarkan ras yang terjadi sebenarnya. Dalam perbudakan kuno, seseorang bisa menjadi budak karena hutang, kejahatan, atau penaklukan, dan bukan karena ras mereka. Para abolisionis, gerakan orang untuk mengakhiri perbudakan, juga menekankan bahwa kutukan ini telah dipenuhi ketika bangsa Israel menaklukkan tanah Kanaan, sehingga tidak ada kutukan yang berlanjut hingga abad ke-19Â (Gregg Hunter, 2021). Tokoh-tokoh seperti Martin Luther King Jr. mengecam penggunaan Alkitab untuk membenarkan perbudakan dan rasisme sebagai penyimpangan yang serius dan bentuk penghujatan. Tokoh lainnya seperti James Burton Coffman menyatakan juga bahwa kutukan tersebut merupakan nubuat yang mungkin terjadi, bukan yang seharusnya terjadi.
Selain cara interpretasi dari Alkitab, pandangan bahwa keturunan Kanaan hanya merujuk pada seluruh masyarakat kulit hitam dari Afrika terbukti terlalu sempit dan kurang akurat. Studi DNA di Lebanon menemukan bahwa keturunan Kanaan justru memiliki keberagaman genetik yang kompleks, tidak terbatas pada satu etnis atau geografi tertentu. Analisis genomik di Timur Tengah juga mendukung penemuan ini, yang menunjukkan adanya percampuran genetik antara berbagai kelompok penduduk kuno di wilayah tersebut (Kristin Romey, 2017). Dalam penemuan lainnya, studi DNA dari sisa-sisa manusia kuno di Levant mengindikasikan adanya kedekatan genetik antara orang Kanaan, Fenisia (di pesisir selatan Laut Tengah), dan Aram (di sekitar Siria). Hal ini menunjukkan bahwa identitas Kanaan tidak bisa disederhanakan menjadi label kulit atau geografis tunggal, melainkan merupakan produk dari keragaman genetik dan sejarah yang kompleks dari kelompok populasi yang mendiami wilayah tersebut pada masa lampau (Science Daily, 2020).
Ajaran-ajaran palsu menarik perhatian karena janji-janjinya yang mudah dipercaya karena mengenai agama terutama pada perbudakan. Kutukan Ham memberikan justifikasi teologis atas perbudakan dan diskriminasi terutama karena terdapat pada Alkitab walau disalah-artikan. Para pendukung perbudakan yang sangat umum sebelum abad ke-20 menggunakan kesalahan ini sesuai keinginan mereka, sambil mengabaikan teks-teks yang mengecam penculikan manusia dan memerintahkan kasih terhadap sesama. Iblis memiliki doktrin untuk setiap keinginan dosa manusia, baik itu menginginkan pengakuan Tuhan atas dosa-dosa manusia, kecocokan dengan filosofi politik tertentu, atau keinginan untuk kekayaan dari kemiskinan (Garrett Kell, 2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H