Kongres IV PDI-Perjuangan di Bali pada 9 – 12 April 2015 telah berlalu.
Paling tidak terdapat 4 hal, termasuk pernyataan dan pidato resmi Megawati Sukarnoputri, yang (mungkin) tanpa disadari sepenuhnya oleh Megawati dan jajaran DPP PDI-P, membuat masyarakat terperangah.
1.Presiden Joko Widodo tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pidato.
Lazimnya dalam sebuah perhelatan organisasi politik, seorang pimpinan eksekutip atau yang mewakili, akan selalu didaulat untuk menyampaikan pidato. Apakah itu berupa kata sambutan, pencerahan, atau pun berupa ajakan untuk turut membantu program-program pemerintah.
Jangankan dalam level nasional, di tingkat kabupaten saja misalnya, adalah merupakan suatu kebanggaan bagi parpol atau ormas yang sedang berhelat, apabila bupati berkenan turut hadir dan memberikan pidato.
Terlebih lagi kalau bupati tersebut adalah kader partai yang bersangkutan. Demikian juga tentunya di tingkat provinsi, apalagi di tingkat nasional.
Demikian juga, tidak tepat untuk menduga bahwa Presiden Jokowi sendiri yang tidak bersedia untuk menyampaikan pidato pada saat Kongres tersebut. Sebab selaku kader dan ‘petugas partai’ sungguh tidak etis bagi Jokowi untuk menolak hal tersebut.
2.Formalisasi sindiran ‘petugas partai’
Pada awalnya, sejak masa kampanye Pemilu 2014 yang lalu, julukan ‘petugas partai’ dan ‘capres boneka’ adalah sindiran yang diberikan oleh lawan-lawan politik untuk menjatuhkan pamor Jokowi. Pemicunya diawali dengan istilah ‘copras-capres’ dari Jokowi sendiri ketika ditanya apakah bersedia dicalonkan sebagai presiden. Jawaban Jokowi dengan selalu menyebut ‘copras-capres’, dimaknai oleh sebagian masyarakat sebagai keengganan Jokowi untuk maju sebagai capres.
Setelah dukungan semakin kuat dan akhirnya Megawati dengan ‘berat hati’ memutuskan untuk mengajukan Jokowi sebagai capres, maka Jokowi, sebagai gubernur DKI pada saat itu, menyatakan bersedia dan lalu melakukan ritual cium bendera di Rumah Si Pitung di kawasan Marunda, Jakarta Utara. Sejak saat itu semakin terlihat Jokowi seakan-akan memosisikan diri sebagai ‘penerima tugas’ dari Megawati. Dapat dilihat misalnya, dari cara-cara Jokowi mendampingi Megawati dalam berbagai kesempatan, termasuk blusukan ke waduk Pluit dan waduk Ria-rio, makan bersama di warteg, dan memberi salam dengan mencium tangan Megawati.
Gambaran tersebut dijadikan bahan guyonan atau ‘meme’ di berbagai media sosial dengan menggambarkan gubernur DKI sebagai ‘petugas partai’ PDI-P. (Pelajaran yang baik buat para capres masa depan untuk tidak terlalu ‘merendahkan diri’ di hadapan Ketua Umum partai pendukungnya).
Oleh karena itu, sungguh ironis, dalam Kongres IV di Bali kemarin, justru Megawati sendiri seolah-olah meresmikan ‘petugas partai’ menjadi istilah resmi dalam internal PDI-P.
Coba kita simak pidato Megawati dalam penutupan kongres tersebut:
“………………………semua kader yang ada di jajaran eksekutif dan legislatif untuk menjalankan tugas sesuai dengan garis perjuangan partai. Sebagai kepanjangan tangan partai, kalian adalah petugas partai. Kalau enggak mau disebut petugas partai, keluar!", kata Megawati dalam pidato penutupan Kongres IV PDI-P, di Sanur, Bali – Kompas.com online, 11/04/2015.
Diusulkan, bukan ditugaskan
Dalam UUD- 1945, pasal 6A, jelas disebutkan:
“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
Sebagai kader PDI-P pada waktu Pilpres 2014 yang lalu, secara konstitusional Jokowi diusulkan, bukan ditugaskan, oleh PDI-P dan partai pendukung lainnya ke KPU untuk disetujui. Setelah memenuhi semua persyaratan, barulah Jokowi resmi menjadi capres.
Setelah memenangkan Pilpres dan terpilih sebagai presiden dan diambil sumpahnya di hadapan MPR, maka resmilah Joko Widodo sebagai seorang presiden yang bertugas sebagai mandataris MPR.
Demikian juga dengan persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden sebagaimana termaktub dalam pasal 5 UU Pilpres No. 42 tahun 2008, tidak ada ketentuan bahwa seorang capres atau cawapres harus menjadi kader suatu partai.
Jadi sama sekali tidak konstitusional dan tidak beralasan mengatakan bahwa seorang presiden adalah ‘petugas partai’, apalagi oleh partai pendukungnya sendiri.
3.Melanggar kesepakatan tidak merangkap jabatan
Sejak dibentuknya Koalisi Indonesia Hebat (KIH), meski barangkali tidak tertulis, ada kesepakatan bahwa kader KIH yang ditunjuk sebagai menteri harus melepaskan jabatannya di partai. Untuk itulah para ketua umum partai pendukung KIH seperti Surya Paloh, Wiranto dan Muhaimin Iskandar dengan rela hati hanya mengusulkan para kadernya untuk ditunjuk sebagai menteri.
Setelah diambil sumpah sebagai menteri, para kader tersebut wajib mengundurkan diri dari kepengurusan di partai masing-masing.
Namun dalam kongres IV di Bali tersebut, Megawati justru menunjuk putrinya Puan Maharani, Menteri Koordinator Bidang PembangunanManusia dan Kebudayaan, sebagai Ketua DPP PDI-P Bidang Politik dan Keamanan untuk periode 2015 - 2020.
Walau pun dengan embel-embel ‘non-aktif’, sulit untuk memastikan bahwa Puan akan benar-benar fokus dalam tugasnya sebagai Menko. Bisa dibayangkan bagaimana jalannya roda pemerintahan, apabila misalnya Partai Nasdem menunjuk kadernya Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno dan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo untuk duduk dalam kepengurusan DPP Partai Nasdem.
4.Tidak belajar dari sejarah atas dampak ‘bully’.
Kemenangan telak PDI-Perjuangan dalam pemilihan umum 1999 terutama adalah karena pada saat itu Megawati dan PDI-P selalu di ‘bully’ oleh pemerintah Orde Baru dan lawan-lawan politik lainnya. Demikian juga ketika Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya maju dan memenangkan Pilpres 2004 adalah karena di ‘bully’ oleh PDI-P, termasuk ketika itu oleh almarhum Taufik Kiemas.
Namun yang terjadi sekarang ini adalah Jokowi sebagai salah satu kader terbaik PDI-P justru di ‘bully’ oleh partainya sendiri. Tanpa disadari, akibat yang terjadi adalah meningkatnya antipati terhadap PDI-P dan berkurangnya rasa hormat masyarakat terhadap Presiden Joko Widodo.
Peluang PDIP dalam Pemilu 2019
Perolehan suara PDI-P dalam masing-masing Pemilu sejak 1999 - 2009 terus merosot dari semula 33,12% (1999) ke 19,82% (2004) dan 16,96% (2009). Kemudian perolehannya terdongkrak kembali menjadi 19,46% dalam Pemilu 2014. Meski tidak memenuhi target 27% perolehan suara, namun dapat dipastikan bahwa kenaikan perolehan suara dari Pemilu 2009 ke 2014 adalah karena faktor Jokowi.
Megawati yang terus menerus selama hampir 20 tahun menjadi Ketua Umum PDI-P (sejak masih bernama PDI), justru menjadi salah satu faktor penyebab munculnya ‘rasa bosan’ dari masyarakat atas partai berlambang banteng tersebut.
Untuk itu dibutuhkan satu perubahan paradigma dan strategi menyeluruh dari PDI-P, apabila masih berharap untuk tampil sebagai pemenang dalam pemilu 2019 yang akan datang.
Salah satunya adalah merubah perlakuan secara total terhadap Jokowi dan tampil sebagai partai yang benar-benar partai pemerintah. Kalau masih mempertahankan perilaku bersifat oposisi seperti sekarang ini, maka jangan berharap banyak dalam pemilu 2019.
Demikian juga terhadap para kader, PDI-P harus berani mengambil sikap, khususnya terhadap kader yang menjadi vokalis pengkritik Jokowi yang ada di DPR saat ini. Pergantian antar waktu adalah cara yang tepat bagi para kader yang selalu mengatakan bahwa Jokowi sebagai ‘presiden prematur’.
Peluang Jokowi tahun 2019
Melihat hasil Kongres IV di Bali dan tidak adanya perubahan kepemimpinan di PDI-P, mustahil rasanya mengharapkan PDI-P untuk merubah total ‘mindset’ nya yang sekarang.
Maka berat bagi PDI-P memenangkan suara mayoritas dan untuk mengajukan sendiri kadernya sebagai capres pada Pemilu 2019. Kecuali kalau partai tersebut menemukan ‘bintang baru’ yang ‘layak jual’ dari segi prestasi politik dan penampilan. Gaya penampilan sederhana Jokowi sekarang ini akan sangat ‘out of date’ pada Pemilu 2019 yang akan datang dan tidak akan ditiru lagi oleh para capres berikutnya.
Dari segi ekonomi, target pertumbuhan 7% adalah sesuatu yang akan sulit dicapai. Apalagi kalau tidak didukung oleh kestabilan politik, keamanan dan dukungan penuh dari DPR.
Dengan demikian, bagi Presiden Joko Widodo, bila lolos mengemban jabatan sampai tahun 2019 nanti, maka pilihannya ada tiga:
- Tidak maju lagi sebagai capres 2019;
- Maju lagi dengan ‘kendaraan’ partai yang berbeda;
- Maju lagi dengan membentuk partai sendiri mulai dari sekarang, dengan dukungan penuh dari para politisi dan professional yang dapat menghayati dan mengamalkan sepenuhnya makna “revolusi mental”.
Ketiganya adalah pilihan yang berat, but the choice is yours, Mr. President!
Jakarta, 16 April 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H