Minggu pagi tanggal 2 September 2012, saat saya sedang menikmati indahnya alam Ujung Genteng - Sukabumi bersama teman-teman kerja saya. Beberapa teman saya berkeliling sekitar villa yang kami tempati pada saat itu. Villa Pak Abudin yang berada di kampung Batu Namprak, terletak tepat di depan pantai. Pepohonan besar yang mengelilinginya membuat suasana terasa adem. Wuih... segarnya.
Setelah bangun tidur saya langsung duduk di teras sambil menikmati teh manis hangat. Teman-teman saya baru kembali dari jalan-jalannya sambil pada tertawa. Mereka bercerita tentang kejadian lucu pada saat mengelilingi kawasan itu.
"Ki, tau ga? Tadi kan Imron mules di jalan, trus dia mampir ke warung yang ada disitu, niatnya mau ikut ke toilet, tapi pas dia ngomong gini.. 'Pak, boleh ikut ke toilet..' si Tukang warung itu malah bengong Ki.." kata teman saya yang bernama Andri.
"Iya Ki, aku jadi bingung tuh.. Apa dia gak denger atau gimana.." tambah Imron.
"Trus gue samperin aja tuh sambil ngomong bahasa sunda.. 'Punten Pa, bade ngiring ka jamban tiasa?' - baru deh orangnya jawab.. 'Mangga..' - trus dia nanya.. 'bade naon kang?' - gue jawab aja.. 'bade miceun..' "Â Andri menambahkan lagi sambil tertawa lepas. Seketika itu kamipun ikut tertawa.
Saya pernah beberapa kali berbincang-bincang dengan beberapa masyarakat disana, meski saya berbahasa Indonesia, namun mereka tetap kental dengan bahasa Sundanya, yang pada akhirnya sayapun ikut berbahasa Sunda karena memang saya orang Sunda.
Cerita seperti ini mungkin sudah tidak asing lagi. Saya yakin, banyak orang yang pernah mengalami kejadian yang sama, dimana orang Indonesia tidak bisa berbahasa Indonesia. Terheran-heran sih, masa tidak tahu kata 'toilet' yang memang umum dipakai.
Tersirat dalam benak saya, mengapa sebagian orang disana banyak yang tidak bisa berbahasa Indonesia?. Padahal banyak sekali wisatawan yang berkunjung kesana, sehingga kemampuan berbahasa Indonesia sangatlah penting untuk bisa berkomunikasi dengan mereka.
Memang tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Banyak faktor yang bisa dijadikan alasan untuk kasus tersebut. Bisa karena bangku pendidikan yang kurang, tidak terjangkaunya media masa seperti radio dan televisi, ataupun yang lainnya. Saluran televisi memang tidak terjangkau disana, untuk mendapatkannya harus memasang TV kabel atau parabola. Terlebih sebagian wilayah ada yang belum tersalurkan arus listrik.
Walau begitu, saya bangga jadi anak bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan. Meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan, Bhinneka Tunggal Ika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H