Rendahnya kepercayaan terhadap sistem hukum turut menjadi penghalang. Banyak korban merasa bahwa aparat penegak hukum tidak akan memberikan keadilan, bahkan mungkin justru akan menyudutkan mereka lebih jauh.Â
Berdasarkan laporan Kontras, antara Juli 2021 hingga Juni 2022, terdapat 18 kasus di mana aparat malah melakukan kekerasan terhadap korban, yang menunjukkan masih adanya kekurangan dalam sensitivitas gender aparat dalam menangani kasus kekerasan seksual.
Salah satu kasus yang cukup kontroversi terjadi adalah seorang siswi SMP menjadi korban pencabulan polisi berpangkat Brigadir inisial K di Kabupaten Belitung, Bangka Belitung. Perempuan berusia 15 tahun ini diduga dicabuli polisi saat melapor kasus pemerkosaan yang dialaminya. Dugaan pelecehan seksual yang dialami korban terjadi di kantor polisi tempat korban melapor pada 15 Mei 2024 lalu.Â
Ketika itu korban akan melaporkan pengurus pantinya, BS (53) yang telah memperkosanya sejak 2022-2024.[2] Bukannya mendapat perlindungan, ia malah harus mengalami perlakuan bejat dari anggota Polri tersebut Kasus dugaan pencabulan yang dilakukan polisi terhadap korban terbongkar atas laporan Komnas Perlindungan Perempuan dan Anak Babel. Kasus ini ditemukan Komnas PPA Babel ketika memberikan pendampingan terhadapnya.Â
4 Tantangan Implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)
Implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menghadapi berbagai tantangan, salah satu tantangan utama dalam implementasi UU TPKS adalah ketidakadaan aturan turunan yang diperlukan untuk menjalankan undang-undang tersebut secara efektif.
 Hingga saat ini, hanya satu dari tujuh peraturann pelaksana yang telah disahkan, yakni Peratutan Presiden tentang Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.Â
Hal ini menyebabkan kebingungan di kalangan aparat Penegak Hukum dan Lembaga terkait lainnya mengenai bagaimana menerapkan UU TPKS dalam praktik sehari-hari.
Selain itu, ketidakpahaman masyarakat dan aparat penegak hukum terhadap substansi dan penerapan hukum ini, yang sering kali menghambat upaya penegakan keadilan bagi korban. Stigma sosial yang melekat pada korban kekerasan seksual juga menjadi penghalang besar, di mana banyak korban merasa takut melapor karena merasa dipersalahkan atau merasa malu.Â
Keterbatasan sumber daya dan pelatihan khusus bagi aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual dengan pendekatan sensitif gender menjadi kendala dalam memberikan perlindungan yang maksimal kepada korban. Kemudian perbedaan interpretasi atas pasal-pasal dalam UU TPKS di tingkat praktis, yang dapat memperlambat proses hukum serta membatasi efektivitas perlindungan dan pemulihan bagi korban.
Â