Memang serba salah di negeri ini, pada saat musim hujan terjadi banjir, ketika musim kemarau datang, muncul kekeringan bahkan sampai bahaya kebakaran hutan dan lahan. Apakah memang negeri ini tempat terjadinya bencana? atau semua itu hanya akibat ulah manusia.
Jikalau ditanya, apa yang terjadi pada musim kemarau? Masyarakat yang tinggal di Jawa pastilah menjawab: sawah kekeringan dan tanah menjadi retak-retak. Tapi kalau pertanyaan tersebut ditanyakan kepada masyarakat yang tinggal di Sumatera, khususnya Riau, jawabnya adalah: kabut asap. Musim kemarau 2013 di sebagian besar wilayah Provinsi Riau memberikan nuansa yang sama dengan kemarau-kemarau di tahun sebelumnya. Kebakaran hutan penyebab kemunculan kabut asap terus menjadi catatan `rapor merah` bagi bangsa ini. Kabut asap merupakan “makanan rutin” tahunan bagi masyarakat Riau. Di hampir seluruh kabupaten/kota yang ada di Riau merasakan santapan kabut asap ini.Entah sengaja atau tidak, mulainya musim kemarau ditandai dengan bermunculannya titik-titik api dari hutan dan lahan yang ada di wilayah ini.
Pepohonan mengering, dipicu dengan kondisi tanah yang sebagian besar bergambut memungkinkan timbulnya titik api. Penebangan hutan untuk pembukaan lahan oleh masyarakat maupun penebangan oleh perusahaan-perusahaan besar untuk bahan baku kegiatan produksi pabriknya menjadi alasan utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang berujung pada timbulnya kabut asap. Pastinya, semuanya terjadi akibat ulah manusia. Pemanfaatan sumber daya alam (dalam hal ini hutan dan lahan) tidak diiringi dengan semangat pengelolaan lingkungan.
Pemanfaatan sumber daya alam harus diselaraskan dengan kegiatan menjaga dan melindungi alam, sebagaimana digariskan oleh Tuhan kepada manusia. Namun, dalam hal timbulnya kabut asap ini, di manakah Tuhan diletakkkan oleh manusia? Dalam buku Teologi Lingkungan yang diterbitkan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup dengan Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dikenal istilah “teologi lingkungan”, yang dimaknai secara bebas sebagai cara “menghadirkan” Tuhan dalam setiap aspek kehidupan manusia, termasuk dalam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan pengelolaan lingkungan.
Dalam aspek praktis, teologi bisa dimaknai sebagai pedoman normatif bagi manusia dalam berperilaku dan berhubungan dengan alam dan lingkungannya. Mengelola lingkungan merupakan tugas dan kewajiban setiap manusia. Oleh karena itu, pertanyaan yang bisa diajukan berkaitan dengan kabut asap ini adalah: apakah dalam setiap melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam, misalnya pembukaan lahan atau penebangan hutan untuk keperluan produksi dengan cara membakar, manusia telah “menghadirkan” Tuhan?Atau sebaliknya, apakah Tuhan ditinggalkan atau malah dicampakkan oleh manusia dengan sikap ketidakpeduliannya? Dengan perkataan yang lain, Tuhan ada di mana (di hati dan pikiran) manusia pada saat dirinya melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam tersebut?
Dalam bahasa yang lebih “akademis”, teologi bisa dimaknai sebagai sebuah konsep berpikir dan bertindak yang dihubungkan dengan “Yang Ghaib” yang menciptakan sekaligus mengatur manusia dan alamnya (lingkungannya). Tuhan, manusia, dan alam merupakan satu kesatuan hubungan yang tidak saja bersifat fungsional, akan tetapi juga bersifat spiritual.Alam semesta termasuk bumi seisinya adalah ciptaan Tuhan dan diciptakan dalam keseimbangan, proporsional, dan terukur atau mempunyai ukuran-ukuran. Berbagai unsur dan elemen yang membentuk alam tersebut diciptakan Tuhan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alam tidak berdiri sendiri tetapi berhubungan dengan manusia.
Manusia merupakan bagian tak terpisahkan dari alam. Sebagai bagian dari alam, keberadaan manusia di alam adalah saling membutuhkan, saling mengisi dan melengkapi satu dengan lainnya dengan peran yang berbeda-beda. Alam merupakan media bagi manusia untuk mengenal kebesaran Tuhan. Alam dengan segala sumber dayanya diciptakan Tuhan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam memanfaatkan sumberdaya alam guna menunjang kehidupannya, manusia harus melakukannya secara wajar (tidak boleh berlebihan) dan tidak diperkenankan pemanfaatannya hanya untuk memenuhi kebutuhan bagi generasi saat ini sementara hak-hak pemanfaatan bagi generasi mendatang terabaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H