Semakin hari peristiwa politik di negeri kita semakin ajaib saja, jika dulu para artis tidak larut atau turun langsung dalam politik praktis, melainkan berperan sebagai professional, hadir dalam perhelatan kampanye, murni sebagai penghibur, dan tidak terikat sebagai anggota partai politik. Kemudian era bergeser, ketika para artis secara tegas-tegas mendukung partai tertentu dan menegaskan dirinya sebagai kader, walaupun sebetulnya pragmatis juga, berperan sebagai kutu loncat, menilai partai mana yang bisa mendongkrak popularitas sekaligus bisa mendukung karir politik mereka, ketika dunia keartisan sudah tidak mampu diharapkan untuk menunjang penghidupan.
Era berikutnya adalah ketika para artis memang dipinang atau meminang partai walaupun bukan kader untuk maju menjadi calon-calon kandidat dalam Pilkada maupun Senator di Senayan. Apa yang dilakukan para artis sebetulnya seiring dengan kebutuhan partai, yang memang berhasrat menang dalam pemilu tapi miskin popularitas, oleh karena itu kebutuhan antara para artis dan kebutuhan partai politik saling berkaitan. Walaupun sikap atau realitas politik seperti ini tanpa disadari telah membunuh karir para kader partai politik.
Sederet artis papan atas dan mantan atlet Indonesia berubah haluan. Mereka bermigrasi dari panggung hiburan menuju panggung politik. Sebanyak 45 artis dan atlet sudah mendaftarkan diri untuk bertarung dalam pemilihan anggota legislatif pada Pemilu 2014. Sebagian nama memang sudah merasakan panasnya kursi wakil rakyat. Namun sebagian besar lainnya merupakan aktor baru dalam dunia politik. Sebut saja Ayu Azhari, Gisel Idol, Yayuk Basuki, Ridho Rhoma, Arzetti Bilbina, Angel Lelga, Irwansyah, Bella Saphira, Iis Sugianto, Krisdayanti, Teti Kadi, Charles Bonar Sirait dan Gading Martin
Fenomena apa yang sebetulnya sedang terjadi dalam perjalanan politik kita yang sarat akan ritme selebrasi, ketika panggung politik saat ini semakin kentara diisi oleh mereka yang berasal dari panggung hiburan. Apakah memang mereka yang berkiprah dalam dunia politik semakin frustasi ketika melihat fenomena hasil penelitian berbagai lembaga survey saat ini menunjukan bahwa popularitas lebih hebat dibandingkan dengan kapabelitas, citra lebih penting dibandingkan dengan nyata.
Memang tidak ada aturan hanya politisi saja yang berhak menjadi wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun partai politik juga jangan konyol dengan hanya mementikan perolehan suara di Senayan. Padahal, bangsa ini membutuhkan wakilnya yang cerdas dan mengetahui iklim politik di Indonesia. Masyarakat awam pun bertanya, bagaimana jadinya bila Gedung DPR RI ditaburi artis ? Mungkin partai politik akan membuat rumah produksi di Senayan ? Sangat disayangkan bila partai politik hanya mementingkan perolehan suara tanpa menguji kompetensi artis dan mantan atlet dalam berpolitik. Di sisi lain, partai politik juga sulit menemukan kader yang benar-benar bersih untuk diajukan sebagai anggota dewan.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana ketidakmampuan partai politik di Indonesia dalam membina kadernya. Regenerasi tidak berjalan dengan baik atau bahkan sama sekali tidak ada. Partai politik tidak mampu mencetak kader yang bisa dijadikan panutan bagi masyarakat. Sehingga, tidak percaya diri mampu meraup suara signifikan di setiap perhelatan pemilu. Dengan dalih semua elemen masyarakat memiliki hak menjadi anggota dewan, sebagian besar partai poltik menggaet artis atau orang terkenal hanya untuk sekadar mendulang suara.
Ketidak"Pe-De"an partai politik mengusung kader aslinya untuk memenangkan pemilu 2014 merupakan titik buntu ketika desakan gairah kekuasaan semakin besar tidak seimbang dengan kemampuan yang ada, maka jalan yang ditembus adalah menjunjung tinggi popularitas diatas segala kapasitas yang ada yang penting menguasai. Asumsi mereka adalah, jika nanti jabatan berhasil diduduki, pembelajaran bisa didapatkan dilapangan, gak perlu orang-orang yang matang atau mengerti. Bagaimanapun juga, inilah sebuah demokrasi yang harus kita hargai, ketika politic distrust benar-benar telah terjadi. Partai politik sepertinya mulai mengabaikan kenyataan bahwa bangsa ini sangat membutuhkan politisi handal. Ke depan, perlu dipertimbangkan untuk membentuk aturan bagaimana seseorang bisa mencalonkan diri sebagai anggora dewan. Misalnya, setiap calon anggota legislatif harus sudah menjadi kader partai aktif, minimal selama lima tahun. Sehingga mereka setidaknya sudah memiliki pengetahuan bagaimana iklim politik di Indonesia. Memang itu hanya sekadar usulan. Namun tidak ada salahnya diterapkan agar Gedung DPR RI yang menjadi rumah rakyat tidak berubah menjadi 'rumah produksi'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H