Salah satu tragedi pelanggaran HAM berat terjadi tahun 1965, tak dapat dipungkiri waktu itu eksistensi PKI memang sangat jaya melintang di bumi pertiwi sebelum adanya kudeta. Pemberontakan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia adalah puncak tragedi ini. Katakanlah menjadi Komunis salah pada saat itu, tetapi membunuh orang yang terindikasi komunis tanpa melewati proses sidang juga tetap salah.
      Negara dan Ormas pada waktu itu bekerja sama dalam berburu orang yang dituduh komunis. Pola-pola penindasan  yang dilakukan antara lain pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran penduduk secara paksa, dan penghilangan orang secara paksa.  Sejarah kelam mencatat setidaknya 450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai dengan dalil pembersihan politik sehingga rasa kemanusiaan dibelakangkan. Hanya karena pemerintah menganggap dirinya benar, tidak seharusnya juga semua dari anggota tersebut bersalah. Pembantaian terhadap pihak-pihak tersebut sampai sekarang masih menjadi polemik panjang dalam menyikapi persoalan ini.
      Pada masa orde baru  dua nama paling fenomenal dan menjadi bagian bobroknya pemerintah dalam menyikapi masalah HAM adalah Marsinah dan Wiji Thukul. Marsinah adalah seorang buruh pabrik PT Catur Putra Surya (CPS) yang ditemukan tewas terbunuh pada 8 Mei 1993. Hal tersebut bermula ketika karyawan pabrik menuntut kenaikan upah agar sesuai dengan himbauan Gubernur Jawa Timur. 13 orang buruh yang dianggap menghasut segera dibawa ke Kodim Sidoarjo. Marsinah sempat mengunjungi rekan-rekannya, tapi pada pukul 10 malam ia menghilang. Mayatnya baru ditemukan 3 hari kemudian. Hingga kini Marsinah belum mendapatkan keadilan karena tidak ada seorangpun yang ditangkap untuk mempertanggungjawabkan kematiannya.
      Tahun 1998 lalu, 13 orang aktivis diculik paksa oleh militer dan tidak ada yang tahu dimana keberadaannya hingga kini. Sebenarnya ada 24 orang yang diculik, tapi 9 orang diantaranya bebas, dan 1 orang lainnya ditemukan tewas tiga hari kemudian di Magetan dengan luka tembak di kepala.
      Termasuk salah satunya adalah Wiji Thukul, yang merupakan seorang aktivis dengan puisi dan sajak nya yang mampu membuat pemerintah Orba terusik dan menganggapnya sangat mengganggu saat itu. Hingga akhirnya Wiji menghilang dan sampai saat ini belum ditemukan.
      Selain daripada nama-nama itu sebenarnya masih ada beberapa nama-nama yang diculik dan dibunuh yang tak terjabarkan secara luas oleh penulis seperti Munir yang meninggal didalam pesawat karena diracuni. Beberapa hari lalu mungkin adalah hari ulang tahun Munir apabila masih berpijak.Sungguh, Keberanian itu bernama Munir.
      Pelanggaran HAM hari ini juga nyaris sama memilukannya dengan kasus-kasus masa lalu. Nduga, misalnya, adalah salah satu potongan kisah kejahatan luar biasa yang tragis. Negara membiarkan 37 ribu rakyatnya terlunta-lunta kelaparan tanpa tempat tinggal sejak Desember 2018, bahkan membiarkan lebih dari 240 orang meninggal kelaparan dan beberapa, dengan jumlah yang belum teridentifikasi, mati di luar proses hukum. Awalnya bermula dari penembakan terhadap sejumlah pekerja proyek pembangunan jembatan di Kabupaten Nduga. Insiden tersebut kemudian menimbulkan reaksi keras dari tentara Indonesia dengan membumihanguskan kampung-kampung setempat yang berujung pada pengungsian massal penduduk ke hutan-hutan dan gunung. Tentunya hal-hal seperti ini haruslah menjadi prioritas pokok negara dalam menyelesaikan persoalan kemanusiaan tersebut.
Sudah Sampai Sejauh Mana?
      Apabila kita menoleh ke depan dan ke belakang, persoalan HAM masih berada dalam situasi stagnan. Kepedulian negara masih jauh dibawah angan-angan. Aksi Kamisan misalnya, setidaknya sudah tercatat 706 aksi didepan istana presiden tetapi respon tetap jauh dari harapan. Mulai dari mereka yang tersangka Pelanggar HAM oleh pengadilan militer masuk dalam jajaran kabinet hingga pembuatan Festival HAM yang diisi oleh ormas non-progresif yang pada saat itu berbicara mengenai HAM pula. Tak pantaslah mereka yang terduga pelanggar HAM berbicara seolah-olah mengerti dengan kondisi pilu hari ini. Konsepsi HAM tak jauh berbeda dengan seduhan kopi yang diaduk dengan berbagai kepentingan saja. Mungkin pahit menerima dan melihat distorsi hari ini. Mental dan Fisik sudah tidak memberi kompromi tetapi tonggak penyelesaian masih buram. Mungkin Keadilan hari ini  seakan mati tetapi tetap percaya kebenaran akan terus hidup selamanya.
SELAMAT HARI HAM SEDUNIA, INDONESIAKU!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H