sosiologi merupakan salah-satu ilmu yang melahirkan narasi-narasi kritis dalam isu kemanusiaan. Meskipun, ilmu sosiologi identik dengan analisis masyarakat, namun secara implisit banyak teori dan analisisnya yang memperjuangkan nilai kemanusiaan. Seperti karya dan pemikiran sosiolog klasik Karl Marx mengenai perjuangan kelas antara kapitalis (berjouis) dan buruh (proletar), serta gagasannya tentang alineasi. Gagasanya melihat sisi getir individu/manusia yang merasa terasing (teralienasi) dari kehidupannya, terkhusus individu yang bekerja sebagai buruh. Posisi individu dinilai tidak lagi sebagai subjek, melainkan sebagai objektivitas ekonomi yang diekploitasi tenaga dan waktunya.
IlmuBerakar dari keadaan itu, Individu juga merasa teralineasi (asing) dengan pekerjaanya, orang disekitarnya, hingga dirinya sendiri. Ini menjadi dasar bagi gagasan Karl Marx untuk mengembalikan makna/hakikat manusia (individu) sebagai subjek dalam kehidupan. Konsep ini menjadi pengantar, bahwa sosiologi membutuhkan nilai kepekaan dalam mengkaji masalah sosial, khususnya dalam konteks kemanusiaan. Tanpa adanya gagasan kesadaran, perjuangan kelas, dan konsep alineasi Karl Marx, mungkin buruh akan kurang dihargai dan mungkin “Hari buruh” hanyalah hari biasa di dunia. Sekilas mengulas balik bagaimana sumbangsih ilmu sosiologi dalam isu kemanusiaan (kemasyarakataan).
Isu diskriminasi rasial merupakan isu klasik dalam kajian sosiologi. Tidak menjadi isu baru atau masih “fresh” yang menyegarkan daya analisa kritis di dalamnya. Namun, pandangan itu bisa dekonstruksi kembali dalam memahami isu diskriminasi rasial dalam era sekarang. Pelecahan ras maupun gerakan pembela suatu ras, tidak hanya hadir di panggung dunia nyata, melainkan juga hadir dalam dunia virtual, dimensi lain untuk masyarakat virtual/digital berada. Kondisi ini sering disebut dengan “migrasi” besar-besaran dari ‘jagad nyata’ ke ‘jagad maya’ (Piliang, 2020). Realitas sosial-budaya akan terbentuk dalam pola interaksi para pengguna media sosial atau masyarakat digital.
Dalam ruang digital, masyarakatnya memiliki kesamaan seperti dalam masyarakat biasa. Mereka dapat berkumpul, bergabung, dan akhirnya menciptakan sebuah kelompok (komunitas onnline) yang memiliki fungsi/bidang tertentu. Dalam realitanya, kelompok sosial di dunia nyata memiliki nilai, norma sebagai kontrol sosial dalam masyarakat, begitupun dalam sebuah kelompok virtual (komunitas) meskipun keberadaannya sangat lemah—bahkan tidak ada. Oleh karenanya, masyarakat virtual identik dengan masyarakat yang barbar, tajam, dan tidak terkontrol. Ini menjadikan pelaku media sosial (masyarakat virtual) cenderung bersifat (ego-centered) atau bertindak melalui pemahamannya sendiri. Kebebasaannya bertindak, beraspirasi dalam ruang virtual membuat beberapa narasi ekstrim kian berkembang dalam masyarakat digital.
Salah satu isu yang menjadi ekstrem di ruang masyarakat digital adalah konsep/ideologi anti rasisme (membungkam diskriminasi) yang disebut dengan Wokeisme atau Wokeism. Wokeisme adalah konsep yang lahir dari lingkungan aktivisme sosial yang peduli akan isu dikriminasi. Namun, secara mendasar Wokeisme menjadi sebuah ideologi yang menekankan kesadaran sosial terhadap ketidaksetaraan dan ketidakadilan, khususnya pada ras, gender, orientasi seksual, dan kelas sosial (Feoline, 2024).
Wokeisme sendiri merupakan aliran pemikiran asal Amerika yang mengecam ketidakadilan dan diskriminasi, dengan istilah lain adalah “gerakan” dan “bangun”. Istilah ini pertama kali dipopulerkan melalui pidato seorang aktivis, pendeta, dan filsuf politik Kristen Amerika, yakni Marthin Luther King. Dia merupakan presiden pertama Konferensi Kepemimpinan Kristen Selatan (SCLC), yang menjadi penggerak dan pemimpin dalam perjuang hak-hak sipil, khususnya bagi suatu “ras” berwarna melalui protes tanpa kekerasaan di Amerika Serikat. Wokeisme juga hadir sebagai bentuk ketidakadilan yang dirasakan Michael Brown pada tahun 2014. Ia dibunuh oleh polisi di Ferguson, Missouri, dengan alasan pendukung yakni rasial (kulit hitam). Berselang dua tahun, rilisnya film Stay Woke: The Black Lives Matter Movement pada tahun 2016 juga menjadi pembangkit kepopuleran ideologi/gerakan ini (Start, 2022).
Meskipun isu ini sangat populer dan hangat, namun banyak perdebatan yang hadir dalam memandang ideologi ini. Banyak pendapat pro dan kontra terhadap gerakan woke sendiri. Beberapa menilai gerakan ini dinilai lahir sebagai gerakan/ideologi yang positif dengan semangat perjuangan kesetaraan dan keadilan bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan (terdiskriminasi).
Para pendukung wokeisme sendiri berharap ada pencapaian penuh dalam gerakan ini. yang menuntut pada perubahaan yang lebih inklusif dan adil, sehingga kesetaraan dalam sistem sosial dan politik dapat terwujud. Disisi lain, wokeisme mendapat kejaman/kritikan yang cukup kontra. Hal ini dinilai dari perilaku dan gerakan woke yang semakin ekstrimis ideologis, yang mempersempit ruang bagi kebebasan berpendapat sehingga menyebabkan adanya polarisasi dalam masyarakat. Kemampanan dalam ruang kesetaraan yang diinginkan para aktivis wokeisme berubah menjadi sebuah keinginan mendominasi. Gerakan ini menjadi representasi masyrakat digital yang menggunakan kebebasaan berekspresi sebagai wadah ekstrim yang membalikan nilai suatu ideologi. Kesan wokeisme yang pada awalnya positif, kini berubah menjadi negatif karena implementasi yang tidak wajar (berlebihan).
Ditinjau dari teori ras yang digagas oleh W.E.B Du Bois lahirnya peristiwa diskriminasi rasial merupakan sebuah keadaan yang dapat merepresentasikan ide teoritisnya mengenai veil (selubung). Menurutnya, pemisahaan atau diskriminasi yang terjadi pada kelompok masyarakat berakar dari sebuah “sekat atau separasi yang jelas”. Sekat dalam hal ini bukanlah sebuah bentuk materil (kasar) seperti dinding tebal, melainkan sebuah materi yang tipis dan rapuh yang melalui itu individu dapat mengenal dirinya (ras) dan orang lain (ras).
Selubung yang dimaksud Du Bois merupakan bentuk halus yang secara alamiah disadari individu. Bentuk itu dapat dilihat dari hal-hal yang bersifat biologis maupun sosial/budaya, yakni, bentuk fisik atau karakteristik fisik dan perilaku atau budaya/adat yang dijalankan. Apa yang dilihat individu/kelompok terhadap individu/kelompok diluar dirinya yang berbeda adalah simbol/bentuk representasi veil atau selubung. Sekat itu seakan menjadi kacamata bagi individu/kelompok untuk dapat melihat masing-masing ras dan memisahkan ras-ras tersebut diluar dirinya. Teori ras yang dijelaskan Du Bois mengindikasikan sebuah pemaknaan perbedaan dalam sebuah sekat ‘halus yang rapuh’.
Perbedaan-perbedaan alamiah maupun sosial-budaya yang didapatkan manusia/individu adalah bentuk kerapuhan yang mudah patah. Secara implisit dia menyakini oleh karena sekat rapuh itu, maka aspek ras begitu mudah untuk menjadi objek yang didominasi (diskriminasi). Oleh karenanya, pergerakan Wokeisme yang memperjuangkan keadilan untuk ras menjadi wajah yang menggambarkan kondisi betapa rapuhnya “ras” dalam masyarakat di dunia. Ras kerap digunakan sebagai alasan untuk mendominasi dan mensubordinantkan ras lain. Seperti di Amerika Serikat, kelompok kulit hitam kerap kali menjadi objek diskriminasi mereka. Selain itu, Eropa juga kerap melayangkan bentuk tindakan rasisme pada masyarakat pendatang ras Asia. Meskipun kehadiran Woikeisme yang penuh pro dan kontra, namun tetap berasas dari yang namanya gerakan perjuangan anti diskriminasi rasial.