"Barangkali, kunci itu kubeli hanya untuk memuaskan keinginanku."
Jatuh berkelabu dalam ruang pengap di ujung tahun. Aku menapakan kaki sedikit-demi sedikit mencoba menukar rasa penasaran. Tiada yang terisi di ruang pengap itu. Hanya kosong, namun terasa pengap. Mataku liar memandang, kemudian menangkap sebuah kanvas dan selusin cat warna menepi di sudut ruang itu.
Jemari gatalku menyentuh kanvas rapuh itu. Penuh debu dan berbau. Tak berniat lagi menyentuh, namun pintu lekas tertutup. Aku kehabisan waktu untuk keluar dari ruang pengap ini. Mataku berair dan kerongkonganku kering. Aku kehabisan tenaga untuk berteriak, bahkan untuk sekedar memukul pintu ruangan ini. Aku takut disini sendirian. Tolong aku.
Pijakan lantai sangat dingin. Ruangan ini membuatku tersiksa. Monster apa yang akan membunuhku kali ini. Apakah aku sudah di perut monster yang kubayangkan sejak tadi? Ini akan sangat menyiksa, pikirku. Dingin, gelap, sepi tanpa bunyi. Benarkah ini akhir dari hidupku?
Tidak mungkin matahari seterang ini. Sinarnya menyapu wajah keringku. Hangat. Ini sangat menyenangkan untuk melupakan dinginya ruang ini beberapa waktu lalu. Tubuhku Kembali pulih. Sesak dan letihnya hilang seketika, meski pintu masih tertutup rapat. Meski kebingungan, aku mencari cara menghilangkan bosan. Membiarkan rasa lapar dan haus menunggu di ujung hari.
Kanvas jelek itu tampak menarik. Aku tidak pandai melukis, tapi kali ini kucoba belajar. Kumulai dengan garis lurus, berangsur menjadi lekukan, dan akhirnya, berbentuk benda yang tidak kumengerti. Lukisan itu hanyalah imajinasiku. Warna dan objeknya tidak menggambarkan apapun yang pernah kulihat. Ia sangat bebas. Menarik.
Banyak waktu kuhabiskan di depan kanvas tua ini. Mataku mulai pedih dan tanganku semakin letih. Punggungku bahkan tak kuat bersandar. Aku semakin lemah. Tidak kuat lagi untuk menjatuhkan warna. Ruangan ini juga semakin sesak. Dingin dan gelap. Aku mencoba menahan, agar mataku tetap terjaga. Aku ingin menyelesaikan lukisanku. Ingin melihatnya sampai akhir. Ingin menambahkan beberapa warna lagi disudutnya.
Aku kehabisan waktu. Pintu terbuka menyelamatkanku. Jangan pernah bermain dengan ruangan itu, entah semenarik apapun kelihatannya. Aku hanya akan menyiksa diriku. Mungkin, untuk beberapa saat aku menyukai ruang itu, senang akan kehangatannya. Namun, semakin aku berlarut dan bersandar pada ruang itu, aku kehilangan diriku. Aku jatuh dalam rasa sakit yang aku nikmati dalam bentuk indahnya imajinasi. Bernafas, aku harus sembuh dari ruang itu. Banyak ruangan yang lebih baik dari itu, percaya padaku.
Di awal tahun yang memburamkan, aku bertemu dengan lukisan yang tidak selesai itu. Dia tetap berada di ruangan itu. Aku menatapnya dari luar, tidak akan mencoba memasuki ruangan itu lagi.Â
Lukisan itu tampak indah, bersinar seperti apa yang kupikirkan. Tetapi ruangan itu tetap dingin dan pengap. Sudutnya tebal akan debu, dan baunya tidak menyenangkan. Jujur saja, aku ingin membuang debu itu, menggantikannya dengan bunga-bunga yang harum. Tetapi, hatiku penuh kabut. Masih belum siap merasakan pengap dan dinginnya ruangan itu.