Mohon tunggu...
Paridul Azwar Hasibuan
Paridul Azwar Hasibuan Mohon Tunggu... profesional -

Pendidik.Senang bersahabat dan diskusi apa saja terutama yang berkaitan dengan dunia pendidikan.Tinggal di Rantauprapat, Sumatera Utara. e-mail : paridzhs_66@yahoo.co.id. Blog : http://smkikhwan@blogspot.com atau http://esemkathebest@blogspot.com. MOTTO : Thousand friends are less but one enemy is most

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perlukah Ujian Masuk untuk Siswa Sekolah Dasar?

20 Juli 2011   14:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:31 763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

PMB ( Penerimaan Murid Baru ) tahun ajaran 2011 /2012 memang telah usai. Hasilnyapun sudah diumumkan. Bahkan pekan ini beberapa sekolah sudah mulai melaksanakan kegiatan pengenalan sekolah yang disebut Masa Orientasi Siswa (MOS). Diperkirakan proses kegiatan belajar mengajar baru akan berlaku efektif di penghujung bulan Juli nanti.

Namun sebagaimana yang terjadi setiap tahunnya kerisauan orang tua dalam menghadapi tahun ajaran baru tidak begitu saja pupus dengan selesainya proses PMB tersebut. Beberapa catatan kecil tetap mengganjal di benak para orang tua seperti : Biaya pendidikan yang masih tinggi, kontras dengan slogan yang didengungkan pemerintah pendidikan gratis untuk anak bangsa, proses seleksi yang ditengarai belum sepenuhnya steril dari kecurangan, serta masih adanya sekolah yang memberlakukan seleksi atau test bagi siswa baru untuk masuk ke sekolah tersebut. Meskipun untuk jenjang pendidikan dasar.

Berbicara tentang seleksi masuk untuk siswa sekolah dasar ada fenomena menarik tapi unik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Fenomena tersebut adalah persepsi dimana sekolah dasar yang menerapkan tes masuk menunjukkan bahwa sekolah tersebut bonafid dan berkualitas. Sehingga kecenderungan menyekolahkan anak kesana terlihat begitu menggebu-gebu. Persepsi ini juga memotivasi orang tua untuk berlomba berusaha mendapat jatah kursi di sekolah tersebut meski harus bersaing dan mengeluarkan biaya tidak sedikit. Prinsipnya biar keluar duit banyak yang penting anak bisa sekolah di sekolah berkelas dan punya reputasi terjamin. Perkara anak mampu atau tidak itu persoalan lain. Meskipun kalau di gali lebih jauh tes yang dilakukan sekolah terkadang bukan semata-mata mengejar atau menjaga kualitas, melainkan lebih disebabkan daya tampung sekolah yang relative tidak sebanding dengan jumlah siswa yang mendaftar..

Sebaliknya bagi orangtua atau masyarakat yang mengerti peraturan perundang-undangan, seleksi masuk pada sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah dinilai sebagai tindakan kontraproduktif. Mengapa ? Pasalnya dalam Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 pasal 69 ayat (4) dengan jelas disebutkan SD/MI atau bentuk lain yang sederajat wajib menerima warga Negara yang berusia 7 tahun sampai dengan 12 tahun sebagai peserta didik sampai dengan batas daya tampungnya. Kemudian lebih dipertegas lagi pada ayat ( 5 ) yang berbunyi : Penerimaan peserta didik kelas 1 ( satu ) SD/MI atau bentuk lain yang sederajat tidak didasarkan pada hasil tes kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau bentuk tes lain. Intinya lewat PP ini pemerintah menegaskan bahwa sekolah-sekolah di tingkat dasar baik negeri maupun swasta tidak boleh menyelenggarakan ujian masuk dengan alasan apapun karena bisa menghambat program wajib belajar yang dicanangkan pemerintah. Selain dikhawatirkan bisa memicu kecemburuan sosial antara siswa kaya dan miskin maupun antara siswa pintar dan bodoh.

Anehnya meski pemerintah telah tegas-tegas melarang adanya ujian masuk di tingkat sekolah dasar akan tetapi praktek yang kita lihat setiap tahunnya ada saja sekolah yang tetap bandel melaksanakan tes masuk seperti disinggung di awal tulisan sehingga menimbulkan pertanyaan besar di benak kita. Mengapa pemerintah, dalam hal ini Depdiknas, terkesan membiarkan dan seolah tutup mata? Jawabannya mungkin bisa ditinjau dari dua aspek. Pertama aspek yuridis. Kalau kita menyimak bunyi pasal demi pasal dari PP No.17 tahun 2010 secara keseluruhan, terdiri dari 222 pasal, tidak satu ayatpun secara tegas menyebutkan jenis sanksi yang bisa diberikan kepada sekolah yang melanggar pasal 69 ayat 4 dan 5 di atas. Apakah itu pidana atau perdata kecuali instruksi yang dikeluarkan Mendiknas lewat Menkokesra Agung Laksono yang ditujukan kepada Dinas dan instansi terkait untuk memberikan pengawasan lebih ketat kepada sekolah yang melanggar ketentuan tersebut. Pengawawan! Hanya itu. Tentu saja jika sebatas pengawasan, efektifitasnya pastilah sangat lemah. Peraturan yang jelas-jelas memiliki sanksi pidana dan perdata saja masih berani dilanggar apalagi hanya sebatas pengawasan. Paling banter sanksi terberat adalah bentuk teguran tertulis.

Aspek ke dua, turunan dari pasal 69 pada PP No. 17 tahun 2010 itu sendiri. Kalau melihat kandungan pokok ayat ke-5, ujian masuk yang tidak diperbolehkan hanya meliputi ujian CALISTUNG ( Membaca, menulis dan berhitung). Sementara bentuk Tes lainnya seperti Tes Kematangan Sekolah maupun Observasi tes sama sekali tidak disebut dengan jelas.. Padahal di beberapa sekolah penggunaan metode tes tersebut merupakan acuan untuk mengetahui potensi, minat dan bakat seorang siswa. Jaringan Sekolah Dasar Islam Terpadu (JISTI) adalah contoh konkretnya. Di seluruh SDIT se-Indonesia, saat mendaftar orang tua dan calon siswa diarahkan untuk mengikuti tes observasi dalam bentuk interview dengan fihak sekolah. Pertanyaannya sendiri lebih focus pada kebiasaan anak di rumah, pengenalan lingkungan, potensi dan bakat anak serta hubungan anak dengan orang tua. Jadi sifatnya lebih kepada kesiapan anak untuk bersekolah bukan kemampuan akademik.

Hampir mirip dengan yang berlaku di negara maju seperti Amerika dan negara lainnya. Tes masuk untuk anak-anak sekolah dasar tetap ada . Bedanya anak-anak disana mengikuti tes untuk menentukan di kelas berapa dia bisa dimasukkan. Misalnya setelah di test ternyata si anak tidak cocok di kelas satu melainkan lebih tepat di kelas dua atau tiga, maka sekolah harus memasukkan mereka ke kelas yang sesuai. Begitu pula sebaliknya.

Yang menarik, manakala orang tua anak keberatan dengan keputusan yang diambil sekolah, mereka bisa mengusulkan agar anaknya dimasukkan ke kelas yang lebih tinggi atau rendah. Dan sekolah harus berpedoman pada usulan orang tua tersebut. Barulah setelah tiga bulan kemudian, berdasar evaluasi yang dilakukan oleh guru ternyata si anak tidak cocok berada di kelas tersebut, maka peringkat kelasnya bisa diturunkan atau dinaikkan. Itupun setelah terlebih dahulu bermusyawarah dengan orang tua anak.

Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa observasi tes bukanlah sarana untuk memutuskan anak lulus atau tidak lulus sehingga tidak dapat dikategorikan melanggar program wajib belajar 9 tahun dan otomatis tidak pula bertentangan dengan pasal 69 dari PP 17 tahun 2010. Pendapat ini diperkuat lagi oleh ketua Dewan Pembina Komnas Perlindungan Anak (PA), Seto Mulyadi, yang mengatakan bahwa ujian masuk pada tingkat sekolah dasar orientasinya mestilah menjurus pada kesiapan anak untuk bersekolah, baik terkait dengan kemandirian, rasa percaya diri, serta ketergantungan terhadap ibu. Artinya ujian masuk pada Sekolah Dasar tetap boleh dilakukan sepanjang tidak berorientasi pada Lulus atau Tidak Lulus.

Dengan demikian secara gamblang kita bisa melihat telah terjadi beda penafsiran ketika memahami PP No.17 tahun 2010, khususnya pasal 69 antara pemerintah dan pelaksana pendidikan, dalam hal ini sekolah. Akar persoalannya boleh jadi pada kurang tepatnya pemilihan kata. Sebagai contoh, pencantuman kata bentuk tes lain pada ayat ke (5) dari pasal 69 tersebut. Pemilihan frasa ini mengandung arti terlalu luas sehingga menimbulkan multi tafsir karena tidak menyebut secara langsung bentuk tes dimaksud. Sehingga fihak sekolah bisa berdalih yang dilarang hanya tes calistung saja. Begitu pula sanksi yang diberikan kepada sekolah yang membandel. Tidak cukup sebatas diawasi melainkan harus lebih keras. Bila perlu mutasi untuk kepala sekolah negeri dan pencabutan izin bagi sekolah swasta.

Oleh karena itu berkaca dari kekurangan yang ada pada PP No. 17 tahun 2010, khususnya yang terkait dengan pasal 69 tentang pelarangan ujian masuk bagi Sekolah Dasar baik negeri maupun swasta, ada baiknya pemerintah segera merevisi kembali peraturan tersebut dengan penyempurnaan yang lebih mengikat dan komprehensif. Dalam arti mengandung ketegasan kalimat dan sanksi yang jelas apakah ujian masuk di tingkat sekolah dasar dilarang atau tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun